Kondisi Seorang Musafir (Perjalanan Jauh) Diperbolehkan Tidak Puasa Ramadhan
Pengertian Musafir: Musafir ialah seorang yang melakukan perjalanan jauh sehingga ia mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat disyari’atkan untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa musafir ada tiga kondisi.
Kondisi Pertama: Adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Dalil hal tersebut diatas ialah, Jabir mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.” (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115). Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi Kedua: Adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.
Dalil hal tersebut diatas ialah, dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas.
Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122) Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi Ketiga: Adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.
Dalil hal tersebut diatas ialah, dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” (HR. Muslim no. 1114). Nabi mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar