Apa Yang Harus Dilakukan Jika Kita Didzolimi Orang Lain
Pernah kamu didzolimi oleh orang lain?….Pernahkah kamu disakiti hatimu karena perbuatan orang lain?…Pernahkah kalian akhirnya malah membenci dan kemudian muncul keinginan membalas perbuatan orang yang mendzolimi kalian? Jika kita merasa sangat terdzolimi, terkadang muncul kebencian memuncak di dalam diri kita yang mana itu bisa jadi bom waktu yang bisa menghancurkan hidup kita. Kita harus hati-hati dengan diri kita ketika benci itu muncul.
Memaafkan adalah cara terbaik tapi apa itu mudah?…Melupakan perbuatan dzolim dan sakit hati kita, apa itu mudah?…..tentu itu ‘tidak mudah’ dan semua butuh proses karena memang sifat dasar manusia yang tentunya lebih cenderung merasa tidak terima dan ingin membalas.
Harusnya kita bisa kuat, harusnya kita tidak menjadikan diri kita lemah dan terus diam atau malah membalas jika didzolimi. Sabar itu cara terbaik, namun sabar manusia selalu menemui titik jenuh. Titik jenuh sabar adalah titik dimana kesabaran itu sudah berubah fungsi. Sabar di sini bukan berarti pasrah pada keadaan dan membiarkan diri kita hancur oleh kedzoliman, namun sabar di sini adalah tetap berusaha untuk keluar dari kedzoliman itu untuk mendapatkan hidup yang lebih indah dan bahagia, dan tidak ada kedzoliman yang membahagiakan tentunya.
Keluarlah dari kedzoliman yang kamu alami karena kamu berhak bahagia. Ketika kamu sudah keluar dari zona kedzoliman dan ternyata masih menyisakan kebencian, apa yang harus kita lakukan? Ketika kebencian menyeruak, kita harus terus mencari cara bagaimana kita bisa meng-handle hal itu. Jangan sampai membuat dirimu makin terpuruk dengan ingatan kebencian pada orang yang mendzolimi-mu dan kesalahan yang dilakukan orang tersebut terhadapmu.
Ada beberapa kiat yang bisa kita terapkan jika kita didzolimi oleh orang-orang di sekeliling kita. Perlakuan buruk orang lain terhadapmu jangan sampai menjadikanmu pribadi yang diliputi kesedihan, kebencian. Walaupun sedih itu susah hilang akibat bekas buruk yang mereka torehkan di hati kita, tapi cobalah maafkan mereka dengan setulus-tulusnya maaf.
1. Allah memperingatkan kita untuk selalu bersabar dan bersikap lemah lembut ketika menghadapi segala benturan dari orang-orang di sekeliling kita.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Ali Imran (3) : 159 yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Ali-Imran: 159)
Tetapi, dalam sikap sabar dan lemah-lembut kita bukan berarti bahwa kita tidak diperbolehkan bersikap tegas. Sikap tegas itu mutlak diperlukan ketika benturan tersebut sudah menodai harga diri, kehormatan dan akidah kita. Anjuran sabar dan bersikap lemah lembut memang harus kita jalankan. Tetapi ketika seseorang tersebut terus men-dzolimi kita berulangkali, maka sikap tegas harus kita kedepankan.
2. Hubungan antar manusia haruslah berlandaskan ikhlas:
Saling menghargai, jujur, suka berterus terang, tidak menggunjingkan satu dengan yang lain, tidak menyakiti hati yang lain dan tidak menyembunyikan sesuatu yang membawa keburukan bagi orang lain. Ketika sikap ikhlas tersebut hilang dari salah satunya, dan malah mendatangkan keburukan bahkan kedzoliman terus merajalela, maka hubungan antar manusia tersebut tidak ada gunanya untuk dilanjutkan, karena sudah melanggar hakekat hubungan yang baik.
Akan lebih baik, meninggalkan orang-orang yang senang berbuat dzolim karena tentunya masih banyak orang-orang yang baik di sekeliling kita. Meninggalkan di sini bukan berarti memutuskan silaturahim tetapi meninggalkan berarti melepaskan diri dari hubungan dekat namun tetap menjaga silaturahim. Dengan menjaga jarak hubungan diharapkan tidak akan timbul gesekan dan kedzoliman. Tak perlu memaksakan diri untuk dihargai karena orang yang baik akan dihargai orang yang baik juga. Maka bertemanlah dengan orang baik dan tinggalkan mereka yang suka mendzolimi sesamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)
Rasulullah bersabda:
«ألا أنبئكم بخياركم؟» قالوا: بلى يا رسول الله، قال: «خياركم الذين إذا رُؤوا ذُكِرَ اللهُ عز وجل
Maukah kalian aku tunjukkan manusia terbaik diantara kalian?, sahabat menjawab,” Tentu Ya Rasulullah, Rasul bersabda,”Sebaik-baik orang adalah yang jika kalian melihatnya mengingatkan kepada Allah.” ( HR. Ibnu Majah no. 4119 dari hadits Asma’ bin Yazid )
Umar bin Khattab berkata,” Hendaklah kalian bersama teman-teman yang baik, karena mereka ibarat hiasan kegembiraan dan bekal dalam ujian.” ( Raudhatul Uqala hal. 90 )
Keutamaan lain yang dimiliki oleh teman-teman yang baik adalah doa. Doa teman yang baik dari jauh akan dikabulkan Allah, Rasulullah bersabda,” Doa seorang mukmin untuk saudara yang tidak berada disisinya akan dikabulkan Allah, dibawa oleh Malaikat yang bertugas, setiap saudaranya berdoa kebaikan malaikat berkata,” Amiin “ ( semoga Allah mengabulkan ) Dan bagimu seperti doamu ( HR. Muslim 2733).
3. Selalu ada kebaikan bagi diri kita walaupun kita merasakan sakit akibat didzholimi.
Apa kebaikan bagi kita? Allah akan menambahkan pahala dan menggugurkan dosa-dosa orang yang terdzolimi.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda: “Tahukah kamu siapa yang bangkrut itu?”, mereka (sahabat) berkata: “Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya kesenangan dan uang” (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa) karena memaki-maki orang, mengumpat, memfitnah, memukul orang, dan mengambil harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang mendzolimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang terdzolimi.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda: “Tahukah kamu siapa yang bangkrut itu?”, mereka (sahabat) berkata: “Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya kesenangan dan uang” (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa) karena memaki-maki orang, mengumpat, memfitnah, memukul orang, dan mengambil harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang mendzolimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang terdzolimi.
Maka tatkala kebaikan orang (yang mendzolimi) itu habis, sedang hutang (kedzolimannya) belum terbayarkan, maka diambilkan kajahatan-kejahatan dari mereka (yang terdzolimi) untuk di berikan kepadanya (yang mendzolimi), kemudian ia (yang mendzolimi) dilemparkan kedalam neraka (HR. Muslim)
4. Jangan pernah berpikir untuk membalas dendam .
Jika kebencian itu menyeruak segera alihkan, pikirkan hal yang positif bahwa kamu sedang diuji sabar oleh Allah, kamu sedang diuji untuk ikhlas, dan kamu yakin bahwa skenario Allah selalu indah. Walaupun kita merasakan sakit namun akan selalu ada kebaikan-kebaikan yang Allah siapkan untuk kita. Hilangkan kebencian dan keinginan untuk membalas karena Allah yang akan membalasnya, Allah Maha Adil. Tidak ada satu hal pun yang lepas dari pantauanNya. Tidak ada satu kejahatan pun atau perbuatan buruk apapun yang tidak akan dibalas oleh-Nya. Jika kita difitnah oleh orang lain dan di dzholimi, maka adukan dan pasrahkan kepada Allah. Jangan kotori hati dan jiwa kita untuk balas dendam atau menyimpan kebencian, amarah dan sakit hati. Ikhlaskan semuanya kepada Allah.
Firman Allah dalam QS. Al Zaljalah : 7-8. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar dzarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga”.
Dzolim merupakan perbuatan yang di larang oleh Allah SWT dan termasuk dari salah satu dosa-dosa besar. Manusia yang berbuat dzolim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Asy-Syura : 42 “Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat dzolim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih“.
5. Jadikan ALLAH, satu satunya penolong dan pelindung.
Allah menjanjikan dalam Surah Al-Thalaq ayat 2 dan 3, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah (bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya.”
6. Maafkanlah dengan tulus mereka yang mendzolimi-mu
Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf 7:199)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur’an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
… dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Yaitu orang2 yang menginfakkan hartanya ketika lapang dan sempit dan menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
Memaafkan adalah amalan yang sangat mulia ketika seseorang mampu bersabar terhadap gangguan yang ditimpakan orang kepadanya serta memaafkan kesalahan orang padahal ia mampu untuk membalasnya. Memang sebuah kewajaran bila seseorang menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan seseorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Asy-Syura: 40)
Memaafkan kesalahan orang acapkali dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal justru sebaliknya. Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, maka sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi di kala dia memaafkan padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan manusia.
Kemuliaan yang kita bisa dapat dari memaafkan kesalahan orang yang mendzolimi kita.
- Mendatangkan kecintaan
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 34-35: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan: “Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: ‘Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek.
Bila mereka melakukan ini maka Allah Subhanahu wa ta’ala menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 4/109)
- Mendapat pembelaan dari Allah Ta’ala
Al-Imam Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan terhadapku.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong dari Allah atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)
- Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Adalah Abu Bakr radhiyallahu’anhu dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan muhajirin. Di saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr istri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam,
Misthah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah menurunkan ayat menjelaskan kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera dan Allah Subhanahu wa ta’ala memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu, Abu Bakr radhiyallahu’anhu bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian kepadanya. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku ingin agar Allah mengampuniku.” Lantas Abu Bakr radhiyallahu’anhu kembali memberikan nafkah kepada Misthah. (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah, dan berilah ampunan niscaya Allah mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 293)
Al-Munawi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang memaafkan, karena memberi maaf termasuk berbuat baik kepada manusia. Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala cinta kepada orang yang berbuat baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
- Mulia di sisi Allah maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang memaafkan kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, ia juga mulia di mata manusia. Demikian pula ia akan mendapat pembelaan dari orang lain atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah melainkan diangkat oleh Allah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Seseorang yang disakiti oleh orang lain dan bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap seperti ini sangat terpuji. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melakukan –pembalasan– maka Allah akan memanggilnya di hari kiamat di hadapan para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia inginkan.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3394)
Demikian pula pemaafan terpuji bila kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa ta’ala. ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah dilukai. Maka beliau menghukum dengan sebab itu karena Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau memaafkan.
Ada orang yang menarik baju Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah Subhanahu wa ta’ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya.
Namun bila menyentuh hak Allah dan agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena Allah serta menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri beliau yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wa ta’ala. (disarikan dari Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada di atas kejahatannya.
Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)
Belajar bagaimana memaafkan dari Manusia-manusia pilihan
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan. Para Nabi Allah merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang. Misalnya adalah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Beliau telah disakiti oleh saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke dalam sumur, lantas dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya.
Namun Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian ini. Allah pun mengangkat kedudukan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam sehingga menjadi bendahara negara di Mesir kala itu. Semua orang membutuhkannya, tidak terkecuali saudara-saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya. Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok mereka, betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf ketika tahu bahwa Nabi Yusuf ‘Alaihissalam telah diangkat kedudukannya sebegitu mulianya. Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam memaafkannya dan tidak membalas. Beliau mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha penyayang di antara para Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Khidhir, ketika keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada penduduk suatu negeri. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena mereka adalah tamu yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk negeri itu tidak mau menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu, didapatkannya dinding rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidhir ‘Alaihissalam menegakkan dinding tersebut.
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, beliau adalah manusia yang terdepan dalam segala kebaikan. Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berupa daging kambing. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak tahu ternyata daging itu telah diberi racun. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam pun memakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam diberi tahu bahwa daging itu ada racunnya.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan dengan seizin Allah Subhanahu wa ta’ala beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil dan ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memaafkan dan tidak menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no. 2617 dan Zadul Ma’ad 3/298)
-Jika kita didzolimi orang lain, bersabarlah-tegaslah membentuk hubungan yang baik, jauhi orang yang berperangai buruk dan bersamalah orang yang baik agar bisa selalu tolong menolong dalam kebaikan-hilangkan amarah, kebencian dan dendam-janganlah membalas dengan keburukan dan maafkanlah mereka dengan setulus-tulusnya maaf dan hanya kepada Allah-lah sebaik-baik penolong dan pelindung bagi kita-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar