Rabu, 28 September 2016

Kisah Teladan Imam Malik


Teladan Imam Malik

 

 

Imam Malik adalah salah satu dari empat Imam Mazhab. Dia lahir pada 93 H di Madinah. Penulis Kitab Al-Muwaththa’ itu suka mencari ilmu sejak belia dan rajin pula menyebarkannya.

Gigih dan Teguh

Imam Malik adalah nama yang lebih dikenal ketimbang nama lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahy Al-Himyari. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama Hadits terpandang di Madinah. Sementara, Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Imam Malik mulai menuntut ilmu di usia sangat muda. Guru Imam Malik sangat banyak. Terutama di masa permulaan, dari kakek dan ayahnya-lah Imam Malik mendapatkan pelajaran Hadits dan ilmu-ilmu lainnya. Setelah itu, berguru-lah dia ke banyak ulama lainnya. Mengutip sebuah sumber, An-Nawawi berkata, “Malik mengambil Hadits dari sembilan ratus orang guru, yaitu tiga ratus orang dari generasi Tabi’in dan enam ratus orang dari generasi Tabi’ Tabi’in”. Berikut ini sekadar menyebut contoh sebagian guru-gurunya: Nafi’, Az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, dan Said Al-Maqburi.

Sekalipun di saat itu masih muda, tapi karena berilmu tinggi maka orang-orang mulai mengambil Hadits atau menuntut ilmu lainnya dari Imam Malik, terutama pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid.

Tanpa putus-putus Imam Malik mengabdi di bidang pendidikan selama 62 tahun. Adapun murid-muridnya antara lain adalah Asy-Syafi’i, Ibnu Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Mashar, dan Yahya bin Yahya Al-Qurthubi.

Imam Malik sangat berhati-hati dalam ‘mengambil’ Hadits. Ibnu Hatim berkata, bahwa “Imam Malik menunjukkan orang-orang yang tidak bisa dipercaya dalam meriwayatkan Hadits. Dia (Imam Malik) tidak meriwayatkan Hadits kecuali Hadits shahih dan tidak mau membicarakan Hadits kecuali Hadits itu diriwayatkan dari perawi yang bisa dipercaya. Imam Malik mempunyai pengetahuan ilmu fikih, pandai ilmu agama, mulia, dan taat beribadah”.

Tentang bukti sikap kehati-hatian Imam Malik, lihatlah Kitab Al-Muwaththa’. Semula, Kitab ini memuat 10 ribu Hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 Hadits.
  Syaikh Ahmad Farid menulis di bukunya –60 Biografi Ulama Salaf- bahwa Kitab yang paling shahih dalam meriwayatkan Hadits di zamannya adalah Al-Muwaththa’. Dan, Kitab Al-Muwaththa’ telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

Lalu, Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi, berkata: “Al-Muwaththa’ adalah dasar utama dan inti dari Kitab-Kitab Hadits. Sedangkan karya Imam Bukhari adalah dasar kedua. Dan, dari keduanya, muncul Kitab yang menjadi penyempurna, seperti karya Imam Muslim dan At-Tirmidzi”.

Kitab Al-Muwaththa’  adalah Kitab fikih berdasarkan himpunan Hadits-Hadits pilihan. Kitab ini menjadi salah satu rujukan terpenting di bidang fikih. Karya ini memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, Kitab ini disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memerinci kaidah fikih yang diambil dari Hadits dan fatwa Sahabat.

Tak hanya berhati-hati saat ‘memilih’ Hadits, Imam Malik juga sangat menghormati Hadits. Ibnu Abi Uwais berkata: “Jka Imam Malik ingin membicarakan sebuah Hadits, maka dia berwudhu terlebih dahulu, merapikan jenggotnya, duduk dengan tenang dan sopan, kemudian dia baru berbicara.”
Ketika seseorang bertanya tentang kebiasaannya itu, Imam Malik menjawab: “Saya ingin memuliakan Hadits Rasulullah SAW. Saya tidak mau menyampaikan sebuah Hadits kecuali saya dalam keadaan suci dan tenang.”

Di antara kelebihan Imam Malik yang lain, dia sangat menghormati majelis ilmu. Terkait ini, ada kisah menarik: Di sebuah kunjungan ke Madinah, Harun Al-Rasyid -Khalifah Bani Abbasiyyah saat itu- tertarik untuk mendapatkan kajian Kitab Al-Muwaththa’. Harun Al-Rasyid ingin agar Imam Malik datang ke tempat dia tinggal untuk menyampaikan kajian. Harun Al-Rasyid-pun mengutus seseorang untuk memanggil Imam Malik.

Permintaan Harun Al-Rasyid itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi,” kata Imam Malik. Maka, tak ada pilihan lain, Sang Khalifah-pun mengikuti kajian Kitab Al-Muwaththa’ bersama dua putranya dengan duduk berdampingan bersama jamaah lainnya di tempat kajian itu biasa dilaksanakan.

Terkait ‘insiden’ tersebut, Imam Malik memberikan nasihat kepada Harun Al-Rasyid: ”Rasyid, Hadits adalah pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh leluhur Anda. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, maka tak seorangpun yang akan menaruh hormat kepada Anda. Manusia-lah yang harus mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan pernah mencari manusia.”

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, menjaga ketentraman, dan mendorong rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan dia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah Hadits dengan nada agak keras. Imam Malik tak berkenan dengan sikap itu dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas Hadits Nabi.”

Imam Malik berilmu tinggi. Maka, perkataan-perkataan yang keluar dari lisannya bernilai tinggi pula. Berikut ini, sejumlah mutiara kata dari Imam Malik: “Jika ada orang memuji dirinya sendiri, maka dia telah kehilangan kehormatannya”. “Bukan seorang pemimpin, jika dia mengatakan semua yang dia dengar”. Dan, “Jika seseorang tidak bisa berlaku baik terhadap dirinya sendiri, maka dia tidak akan bisa berbuat baik terhadap orang lain”.

Imam Malik dikenal tegas memegang prinsip. Lebih dari sekali ‘pendapat keagamaan’-nya berbeda dengan pendapat penguasa. Atas sikapnya ini, Imam Malik tabah menerima risiko –seperti dicambuk- atas perjuangannya menegakkan risalah Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Electricity Lightning