KEDUDUKAN HAKIM DALAM ISLAM
Ulama mengategorikan hukum qadha' adalah fardhu kifayah. Harus ada yang memberikan penjelasan tentang syariat Islam kepada manusia. Beban ini diberikan kepada penguasa atau khalifah. Dalam sebuah wilayah tertentu, khalifah boleh mewakilkan kewajiban ini kepada hakim. Jadi, dalam Islam, sejatinya hakim adalah wakil resmi khalifah di sebuah wilayah utamanya dalam penerapan hukum Islam.
Aturan ini dimaknai dari hadis Rasulullah SAW, "Tidak halal bagi tiga orang yang tinggal di suatu wilayah dari belahan bumi, melainkan mereka harus mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka." (HR Ahmad).
Hakim dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Hakim atau dalam khazanah Islam sering disebut qadhi adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam menjelaskan hukum Allah SWT kepada umat Islam. Proses menjelaskan hukum-hukum Allah ini sendiri disebut dengan qadha'.
Seorang hakim sebagai wakil Allah SWT dan khalifah memiliki tugas yang sangat berat. Jika ia memutuskan sebuah perkara dengan hukum yang menyelisihi keadilan dan nilai-nilai syara, tempatnya adalah di neraka.
Hakim sendiri menurut sebuah hadis terbagi dalam tiga kelompok. Dua kelompok akan dimasukkan ke dalam neraka dan hanya satu kelompok yang selamat hingga ke surga. Kelompok hakim yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran dan memutuskan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut.
Sementara, hakim yang paham bagaimana yang baik dan benar namun memutuskan perkara dengan menyimpang maka ia adalah golongan penghuni surga. Golongan ketiga adalah hakim yang bodoh dan memutus perkara dengan kebodohannya. Pembagian ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi.
Dalam konsep hukum Islam, sejatinya jabatan qadhi bukanlah jabatan yang diperuntukkan bagi mereka yang meminta. Jabatan ini diberikan kepada orang yang memiliki kualifikasi. Karena begitu berat konsekuensi dari seorang hakim, ia harus siap menanggung semua beban itu.
Hakim tak layak diisi oleh orang yang ambisius mengejar jabatan. Orang yang mengejar kedudukan cenderung mengabaikan hak orang lain, tidak amanah, dan berpeluang besar menjadi khianat.
Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menguasakan tugas ini (hakim) kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi menjabatnya." (HR Bukhari Muslim).
Syekh Abu Bakar Jabir al-Jaza memberikan beberapa syarat bagi mereka yang berhak diangkat menjadi hakim. Seorang hakim dalam hukum Islam mestilah Muslim, berakal, baligh, merdeka, memahami Alquran dan sunah, mengetahui dengan apa ia memutus perkara, dapat mendengar, melihat, dan berbicara.
Syekh Abu Bakar juga mewanti-wanti kepada siapa pun yang menjabat sebagai hakim agar menjauhi hal-hal berikut. Pertama, tidak memutus sebuah perkara dalam keadaan emosi, lapar, sakit, atau malas. Sabda Nabi SAW, "Seorang hakim tidak boleh memutus perkara di antara dua orang yang berperkara dalam keadaan marah." (HR Bukhari Muslim).
Seorang hakim juga tak boleh memutus perkara tanpa adanya saksi, tidak boleh memutus perkara yang ada kaitan dengan dirinya seperti perkara anaknya, bapaknya, atau istrinya. Tidak boleh menerima suap dalam menetapkan hukuman. Nabi SAW bersabda, "Laknat Allah terhadap penyuap dan penerimanya dalam menetapkan hukuman." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Ia juga tidak boleh menerima hadiah dari seseorang yang tidak pernah memberinya hadiah sebelum diangkat menjadi hakim. Sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan, kemudian kami memberinya rezeki (gaji), maka sesuatu yang didapatkannya setelah itu adalah pengkhianatan." (HR Abu Daud dan Hakim).
"Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan resikonya setelah kepala negara ialah hakim.
Dalam terminologi fikih klasik, hakim disebut juga qadhi. Qadhiatau hakim berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan.
Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia. ALLAH TELAH BERFIRMAN:
“Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS al-Maidah [5]: 42). Dan Rasul bersabda:
“Qadhi (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.”
Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga.
Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah: hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, akan tetapi dia menyeleweng dan berbuat zalim dengan kewenangan memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan vonis hukum tanpa ilmu, akan tetapi dia malu untuk mengakui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya.
Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui kewenangan mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.
Menarik diperhatikan nasihat Nabi Muhammad ketika memberikan briefing kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman.
Sebagaimana dinukilkan oleh Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Ah kaam as-Sulthaniyah, Nabi berpesan:
“Apabila engkau menghadapi dua pihak yang beperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan bagi salah seorangnya sebelum engkau mendengarkan keterangan yang lainnya.”
Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman.
Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan ketelanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah.
Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi dari pada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan pada yang beperkara, ataupun kepentingan kekuasaan.
Hakim harus jujur dan adil dalam kondisi apa pun dan kpada siapa pun.
Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.000 dinar emas sebulan.
Dan, di zaman Daulah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.200 dinar emas sebulan (setara dengan 3.000 dolar AS sekarang).
Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau gratifikasi.
Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suap dan gratifikasi.
Integritas hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh.
Oleh karena itu, tidak semua sarjana hukum layak untuk mengemban jabatan hakim.
PROFESI HAKIM DALAM PANDANGAN ISLAM
Hakim adalah
jabatan yang mulia sekaligus penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia
bertujuan menegakan keadilan demi menciptakan ketentraman dan perdamaian di
dalam masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan rawan dengan penyuapan
dan behadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat
diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang
seharusnya. Profesi Hakim mendapat perhatian yang besar dalam Agama Islam
melalui ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadist, di antaranya seperti di bawah ini:
Al
– Qur’an Surat An – Nisa’ Ayat 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan ( menyuruh kamu ) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik – baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”.
Al
– Qur’an Surat An – Nisa’ Ayat 135
“Wahai orang – orang beriman, jadilah kamu orang yang benar – benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak atau kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah
lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan ( kata - kata )
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan”.
Al
– Qur’an Surat An – Nisa’ Ayat 105
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran,supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang – orang ) yang
tidak bersalah, karena ( membela ) orang – orang yang khianat”.
Diriwayatkan oleh Buraidah, Bahwa Rasulullah
SAW bersabda yang artinya:
“Hakim – hakim itu terbagi menjadi tiga golongan,yang dua golongan
masuk neraka, yang satu golongan masuk surga. Yang masuk surga itu adalah Hakim
yang mengetahui kebenaran yang menjatuhkan hukuman dengan adil. Yang satu
golongan adalah Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi menyelewengkan dengan
sengaja dari kebenaran itu, maka ia masuk neraka, dan satu golongan lagi adalah
Hakim yang memutus perkara dengan kebodohan ( tanpa ilmu ), mereka malu
mengatakan aku tidak tahu, maka merekapun masuk neraka”. ( HR. Abu Daud dan Ibnu Majah ).
Diriwayatkan
oleh Abdullah ibn Amr dan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:
“Apabila seorang Hakim dalam menjatuhkan putusandengan cara berijtihad,
dan ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala dan apabila ia berijtihad
kemudia ijtihadnya itu salah, maka ia dapat satu pahala”. ( HR. Abu Daud dan Ibnu Majah )
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Siapa yang dilantik sebagai Hakim di antara manusia sesungguhnya ia
disembelih ( lehernya ) tanpa pisau.”
(HR.Ahmad,Tarmizi, Abu Daud, dan Ibnu Majah )
Dalam Islam
seseorang yang menjabat sebagai Hakim tidak boleh menerima hadiah dari pihak –
pihak yang berperkara, juga dari orang – orang yang berada di lingkup
jabatannya, meskipun orang – orang itu tidak sedang dalam perkara hukum, karena
hal itu dapat melemahkannya saat mengurus masalah orang itu nanti. Hal ini
didasarkan pada hadist sahih, bahwa Rasulullah SAW bersabda hadayal umarai ghululun,
hadiah – hadiah yang diterima oleh pejabat adalah sebuah korupsi.
Jika Hakim
menerima hadiah dari orang yang berperkara, maka hendaknya segera mengembalikan
hadiah tersebut kepada orang yang memberikannya. Jika ia tidak mengetahui lagi
orang yang memberikannya, maka hadiah yang sudah diterima itu diserahkan ke
baitulmal, karena baitulmal lebih berhak darinya. Jika pemerintah memberikan
hadiah kepada Hakim, menurut sebagian para ahli hukum, hadiah tersebut boleh
diterima asalkan tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang
ditangani.
Islam
menghendaki agar Hakim memutuskan perkara hendaknya ia selalu berada dalam
keadaan tenang dan tentram, baik jasmani maupun rohani. Rasulullah SAW bersabda
bahwa tidak boleh mengadili suatu perkara, sedangakan ia ( Hakim ) dalam
keadaan marah. Kemudian, Hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan
resah gelisah, letih dan lesu sehingga tertekan jiwanya. Hakim harus menjauhkan
diri dari segala hal yang menyebabkan ia tidak adil dalam memutuskan perkara.
Sahabat
Rasulullah SAW yaitu Umar bin Khattab r.a mendefinisikan kualifikasi seorang
Hakim, yaitu :
·
Hatinya
lembut tapi tidak lemah
Orang yang
menempati posisi sebagai Hakim harus mempunyai perasaan halus dan baik hati
dalam menghadapi orang –orang yang datang ke pengadilan untuk meminta putusan
atas masalah mereka. Namun, pada saat yang sama ia harus berhenti menahan diri
berhati lembut jika mengakibatkan dirinya menjadi lemah dalam melaksanakan
hukum. Dengan mensyaratkan kelembutan tanpa kelemahan bagi seorang Hakim, Umar
bin Khattab r.a mempunyai maksud agar Hakim tegas dalam melaksanakan putusannya
karena putusan yang tidak dapat dilaksanakan adalah putusan yang tidak berguna.
Imam
Mohammad bin Ahmad al – Sarakhsi berkata:
“Seorang
Hakim haruslah orang yang lemah lembut tapi kelembutannya tidak boleh
menyebabkan nya menjadi lemah dalam memutuskan perkara dan kekuatannya tidak
boleh membuatnya menjadi keras dalam menghadapi orang – orang pencari keadilan.
·
Bersemangat
tanpa kekejaman
Seorang
Hakim haruslah mempunyai pendirian yang kuat, dan sangatlah penting bagi Hakim
menjadi orang yang tegas dalam menjalankan putusannya. Meskipun demikian,
ketegasan seorang Hakim tidak boleh menjadi sifat keras yang tidak diperlukan.
Jika seorang Hakim bertindak keras secara tidak rasional dalam menghadapi pihak
yang berperkara, dalam beberapa kasus, hal ini dapat menyebab keadilan tidak
akan tercapai.
·
Hemat tanpa
menjadi tamak
Sebaiknya
seorang Hakim menjalani hidup dengan sederhana, menggunakan pendapatan sendiri
dan mencukupkan apa adanya. Namun seorang Hakim juga harus diberi gaji yang
layak dan cukup, karena dengan begitu ia tidak akan terpengaruh terhadap hadiah
– hadiah yang diberikan kepadanya sebagai bentuk penyuapan. Namun karena
seorang Hakim harus hidup sederhana, tidak berarti bahwa dia harus hidup kikir.
Karena menjadi orang kikir adalah cara hidup yang tidak disukai dalam ajaran
Islam.
Kemudian,
sahabat Rasulullah SAW yaitu Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan yang maksudnya
adalah Seorang Hakim tidak boleh sombong lantaran pujian dan condong lantaran
hasutan. Oleh karena itu seorang Hakim dituntut untuk mempunyai pendirian yang
kuat dan ia harus tetap tegar meskipun ia ditekan bahkan oleh penguasa
sekalipun, karena ia mengemban amanat pembawa keadilan. Tetapi ia harus tetap
rendah hati meskipun ia menjadi sosok yang luar biasa hebat di dunia. Hakim
harus cerdas dan berpengetahuan luas, kuat secara iman dan berani mengambil
keputusan berdasarkan ilmu dan imannya.
Melihat
perhatian Islam yang begitu besar terhadap profesi kehakiman, membuat kita
harus berfikir secara matang dengan mental disertai iman yang kuat serta ilmu
yang cukup jika ingin menjadi hakim.
Prof. Yos
Johan Utama, S.H.,M.Hum. salah satu dosen Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, pernah mengatakan:
“Hakim itu
tidak mempunyai atasan, dia itu tidak ada tanggung jawab kepada siapapun,
kecuali ia langsung bertanggung jawab kepada Allah SWT”.
Dengan kata–kata itu kita semua bisa mengambil kesimpulan, bahwa Hakim itu bebas
mengambil putusan yang dia suka, tetapi seorang Hakim juga harus ingat bahwa
Allah itu ada dan Maha Mengetahui. Dialah penguasa alam semesta yang memiliki
Mahkamah Maha Adil yang mampu membalas semua perbuatan dengan seadil – adilnya.
Allah Al-Hakam.
Terakhir, saya mau mengutip pesan ayah saya
ketika saya berulang tahun yang ke 18 Tahun. Beliau berkata “Hiduplah di
dunia ini dengan senjata ilmu dan perisai iman”.
WALLAHU A'LAMU BISSHAWAB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar