Jumat, 23 September 2016

SIAPA SAJAKAH PENGHUNI LANGIT ?


Jumpa penduduk langit





Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.

Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan.
Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan-arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidak-terbatasanNya dan ketidak-tertangkapNya.
Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunusalaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh alBaghawi dan yang lainnya.

Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh itu adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.

Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.

Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahualaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu.

Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya.

Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain.
Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahualaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihis salam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah Ta’ala. 

Karena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa AlQadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan,





‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihis salam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah Ta’ala memberitakan tentang dia.

Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Dia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihis salam yang berada dikegelapan lautan. 
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh.

Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.


Allah Ta’ala mustahil berada di sebuah arah dan tempat. 
Dan itu merupakan keyakinan kaum muslimin yang benar. Maksudnya, Allah Ta’ala itu qadim (yang paling awal dan wujudnya tanpa sebab), bahwa mereka menetapkan sifat qidam (yang dahulu, awal) kepada Allah secara Dzatiyah. Dalam artian dzat Allah tidak diawali dengan wujud yang lain atau tidak ada yang lebih awal dari wujud Allah, sebagaimana terkandung dalam firmanNya yang artinya “Dialah yang awal” (QS Al Hadiid [57]:3)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda “Engkaulah Dzat yang Awal maka tiada sesuatupun sebelum Engkau” (HR Muslim)

Sifat Qidam berarti menafikan adanya wujud lain yang mendahului wujud Allah atau wujud lain yang bersamaan dengan wujud Allah. Oleh karena itu, sifat Qidam menghilangkan substansi pendahuluan bagi makhluk sebelum Allah. Begitupula dengan sifat-sifat Allah, semuanya qadiimah, tidak berubah dengan penciptaan makhluk yang sifatnya hadits (baru).

Menetapkan arah dan tempat kepada Allah mengandung pengertian bahwa sesungguhnya Allah tidaklah bersifat fauqiyah (di atas) kecuali setelah Allah menciptakan alam semesta. Maka, sebelum penciptaan itu, Allah Ta’ala tidak berada di arah ‘atas’ karena belum adanya sesuatu yang berada di arah ‘bawah’. Dengan demikian, keberadaan di tempat ‘atas’ merupakan sifat baru yang dihasilkan dengan adanya sesuatu yang baru. Oleh karena itu, sifat yang seperti ini tidak layak disematkan bagi Allah.

Kaum muslimin juga meyakini bahwa Allah Ta’ala berbeda dengan segala sesuatu yang bersifat baru, maksudnya dalam konteks hakikatnya. Maka dari itu, sifat jirmiyah (zat), aradhiyah (sifat), kulliyah (keumuman), juz’iyyah (kekhususan), dan juga hal-hal yang melekat pada keempat sifat itu tidak dapat dialamatkan kepada Allah. Hal yang melekat pada jirmiyah membutuhkan arah dan tempat, sementara aradhiyah butuh kepada zat lain agar bisa terwujud. Adapun kulliyah merupakan hal yang besar dan bisa dibagi , sedangkan yang melekat pada juz’iyyah adalah kecil, dan lain sebagainya.

Berangkat dari itu, jika setan datang membisikan hati seseorang, “Andaikan Allah itu tidak jirim, aradh, kulli, atau juz’i, lantas apa hakikat Allah sebenarnya?” Maka jawablah godaan itu dengan, “Tidak ada yang tahu hakikat Allah kecuali hanya Allah semata”

Perbedaan sifat Allah dengan makhlukNya itu tertuang dalam firmanNya yang artinya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS Asy Syuura [42] : 11)
Dan juga diambil dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab ra, 

 “Sesungguhnya kaum musyrikin pernah berkata, “Wahai Muhammad, jelaskan kepada kami hakikat 

Tuhanmu” Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang berbunyi

“Katakanlah: “Dia lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. (QS Al Ikhlas 1-2)

“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia (QS Al Ikhlas 3-4)

Untuk ayat ketiga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan, “Karena sesungguhnya tidak ada satupun yang dilahirkan kecuali ia akan mati. Dan tidak ada sesuatu yang mati itu kecuali ia akan diwarisi. Sedangkan Allah itu adalah Zat yang tidak mati, dan juga tidak diwarisi”

Sedangkan untuk ayat keempat dijelaskan oleh beliau, “Tidak ada satupun yang bisa menyamai dan menandingi Allah. Dan tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya”

Dari dalil di atas, Allah Ta’ala mensifati diriNya dengan menghilangkan sifat sepadan dan sifat-sifat lain yang tidak pantas dimiliki oleh-Nya. Begitupula yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari sini kaum muslimin dapat memahami bahwa pada hakekatnya Allah Ta’ala berbeda dengan segala sifat yang dimiliki semua makhluk.

Dengan demikian, tidak boleh hukumnya mensifati Allah dengan sifat-sifat yang baru, termasuk juga bertanya dengan beberapa pertanyaan yang bisa mengarah ke sana. Tidaklah boleh bertanya tentang Allah dengan pertanyaan seperti, “Di manakah Allah?” dengan tujuan untuk mengetahui arah dan tempat di mana Zat Allah Ta’ala berada. Akan tetapi, boleh menanyakan hal itu dengan bertujuan untuk mengetahui kekuasaan Allah Ta’ala atau malaikat yang bertugas untuk-Nya

Baca juga : Isra Mi'raj


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Electricity Lightning