Hartamu Hanyalah Titipan Ilahi
Yang harus engkau ingat dalam benakmu … Hartamu hanyalah titipan ilahi.
Allah Ta’ala berfirman,
آَمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ
فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7)
Faedah dari ayat di atas:
Pertama: Perintah untuk beriman pada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Dorongan untuk berinfak.
Ketiga: Pahala yang besar di balik, iman dan infak.
Keempat: Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta tersebut milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak. ”
Al Qurtubhi sekali lagi mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa harta kalian bukanlah miliki kalian pada hakikatnya. Kalian hanyalah bertindak sebagai wakil atau pengganti dari pemilik harta tersebut yang sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar sebelum harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang setelah kalian. ”
Lantas Al Qurtubhi menutup penjelasan ayat tersebut, “Adapun orang-orang yang beriman dan beramal sholih di antara kalian, lalu mereka menginfakkan harta mereka di jalan Allah, bagi mereka balasan yang besar yaitu SURGA.” (Tafsir Al Qurthubi, 17/238)
Intinya maksud Al Qurthubi, harta hanyalah titipan ilahi. Semua harta Allah izinkan untuk kita manfaatkan di jalan-Nya dalam hal kebaikan dan bukan dalam kejelekan. Jika harta ini pun Allah ambil, maka itu memang milik-Nya. Tidak boleh ada yang protes, tidak boleh ada yang mengeluh, tidak boleh ada yang merasa tidak suka karena manusia memang orang yang fakir yang tidak memiliki harta apa-apa pada hakikatnya.
Harta Itu Anugerah, Amanah, Sekaligus Fitnah
DI antara masalah kehidupan yang mendapat bahasan panjang
lebar di dalam Al-Qur’an yaitu masalah harta kekayaan. Biasanya,
Al-Qur’an membahas sesuatu selalu dalam batas-batas yang sangat umum.
Soal-soal yang menyangkut ibadah, seperti sholat, ibadah haji, dan
puasa, Al-Qur’an hanya menyentuhnya dalam batas-batas yang sangat umum.
Rincian dari aturan ibadah itu sepenuhnya dijelaskan oleh Al-Hadits.
Begitu juga mengenai konsep-konsep sosial kemasyarakatan. Qur’an hanya menyentuhnya dalam batas-batas sangat umum, seperti halnya prinsip syuro, prinsip kebebasan, keadilan adalah merupakan sebagian contohnya. Tetapi ketika Qur’an berbicara tentang harta kekayaan, soal utang-piutang umpamanya, Al-Qur’an membahasnya panjang lebar dalam salah satu ayat yang terpanjang, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 282. Hal lain yang dibicarakan cukup detail dalam Al-Qur’an adalah masalah waris yang juga menyangkut harta kekayaan.
Pertanyaannya, kenapa Al-Qur’an begitu detail membahasa masalah harta? Menurut Dr. Ahmad Salabi, manusia kalau sudah menyangkut harta ada kecenderungan berbuat tidak jujur dan ingin memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sehingga mungkin ijtihad seseorang juga dipengaruhi oleh egoisme (ananiah) dirinya, khususnya tentang harta . Maka Allah Swt tidak memberikan peluang terlampau banyak untuk berijtihad di dalam menyangkut hukum warits. Al-Qur’an menjelaskan secara pasti hingga mengenai jumlah prosentasenya.
AL-QURAN mengemukakan, pada dasarnya seluruh harta kekayaan yang ada di alam ini dimiliki oleh pemilik mutlaknya, Allah Swt. Konsep ini merupakan bagian dari konsekuensi tauhidullah . Dalam kaitan dengan harta, ia dapat diartikan tidak ada pemilik mutlak dari seluruh benda-benda ekonomi ini, kecuali hanya Allah Swt., meskipun tidak berarti bahwa Islam tidak mengakui hak-hak individual atau pribadi manusia.
Pertama, harta itu adalah anugerah dari Allah. Kaya dan miskin seseorang sepenuhnya adalah karena qadha dan qadar-Nya . Manusia diperintahkan untuk bekerja. Manusia juga diperintahkan untuk banyak memberi, tapi jumlah rezeki sepenuhnya ditentukan oleh Allah Swt. Bahkan, sejumlah hadits mengemukakan, Allah Swt sudah menetapkan kekayaan seseorang itu sejak mereka mendapatkan tiupan ruh pertama.
Jadi, harta sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Konsep ini membuahkan dua sikap.
Pertama, manusia tidak boleh sombong karena kekayaan karena dia cuma penerima anugerah dari Allah.
Kedua, Orang miskin pun tidak boleh minder karena kemiskinannya karena kemiskinannya merupakan desain Allah Swt. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa, bukan karena yang paling kaya.
Kedua, harta merupakan amanah atau titipan dari Allah. Semakin besar kekayaan yang kita dapatkan, maka semakin besar tanggung jawab kita di hadapan-Nya. Semakin banyak kekayaan yang ada pada diri kita, maka semakin lama proses hisab nanti di akhirat.
Ketiga, Al-Qur’an mengemukakan bahwa harta yang ada pada diri kita merupakan hiasan kehidupan dunia ini. Sebagai hiasan kehidupan, maka manusia menjadi sering cenderung sombong dan takabur karena kekayaannya, “Kallaa innal insaana layathghoo”, Perhatikan bahwa manusia menjadi sombong, “Arro aahustaghnaa”.
Karena dirinya merasa kaya, dia menjadi gila hormat, pujian, dan dia mudah tersinggung oleh orang miskin dan pada dia pun ada kecenderungan manusia menghormati seseorang karena melihat kekayaannya.
Al-Qur’an juga mengamanatkan, harta yang ada pada diri kita adalah bagian dari fitnah yaitu ujian dari Allah, ujian keimanan dan kehidupan. Wallahu a’lam.
Begitu juga mengenai konsep-konsep sosial kemasyarakatan. Qur’an hanya menyentuhnya dalam batas-batas sangat umum, seperti halnya prinsip syuro, prinsip kebebasan, keadilan adalah merupakan sebagian contohnya. Tetapi ketika Qur’an berbicara tentang harta kekayaan, soal utang-piutang umpamanya, Al-Qur’an membahasnya panjang lebar dalam salah satu ayat yang terpanjang, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 282. Hal lain yang dibicarakan cukup detail dalam Al-Qur’an adalah masalah waris yang juga menyangkut harta kekayaan.
Pertanyaannya, kenapa Al-Qur’an begitu detail membahasa masalah harta? Menurut Dr. Ahmad Salabi, manusia kalau sudah menyangkut harta ada kecenderungan berbuat tidak jujur dan ingin memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sehingga mungkin ijtihad seseorang juga dipengaruhi oleh egoisme (ananiah) dirinya, khususnya tentang harta . Maka Allah Swt tidak memberikan peluang terlampau banyak untuk berijtihad di dalam menyangkut hukum warits. Al-Qur’an menjelaskan secara pasti hingga mengenai jumlah prosentasenya.
AL-QURAN mengemukakan, pada dasarnya seluruh harta kekayaan yang ada di alam ini dimiliki oleh pemilik mutlaknya, Allah Swt. Konsep ini merupakan bagian dari konsekuensi tauhidullah . Dalam kaitan dengan harta, ia dapat diartikan tidak ada pemilik mutlak dari seluruh benda-benda ekonomi ini, kecuali hanya Allah Swt., meskipun tidak berarti bahwa Islam tidak mengakui hak-hak individual atau pribadi manusia.
Al-Qur’an menjelaskan, harta merupakan anugerah, amanah, dan perhiasan :
Pertama, harta itu adalah anugerah dari Allah. Kaya dan miskin seseorang sepenuhnya adalah karena qadha dan qadar-Nya . Manusia diperintahkan untuk bekerja. Manusia juga diperintahkan untuk banyak memberi, tapi jumlah rezeki sepenuhnya ditentukan oleh Allah Swt. Bahkan, sejumlah hadits mengemukakan, Allah Swt sudah menetapkan kekayaan seseorang itu sejak mereka mendapatkan tiupan ruh pertama.
Jadi, harta sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Konsep ini membuahkan dua sikap.
Pertama, manusia tidak boleh sombong karena kekayaan karena dia cuma penerima anugerah dari Allah.
Kedua, Orang miskin pun tidak boleh minder karena kemiskinannya karena kemiskinannya merupakan desain Allah Swt. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa, bukan karena yang paling kaya.
Kedua, harta merupakan amanah atau titipan dari Allah. Semakin besar kekayaan yang kita dapatkan, maka semakin besar tanggung jawab kita di hadapan-Nya. Semakin banyak kekayaan yang ada pada diri kita, maka semakin lama proses hisab nanti di akhirat.
Ketiga, Al-Qur’an mengemukakan bahwa harta yang ada pada diri kita merupakan hiasan kehidupan dunia ini. Sebagai hiasan kehidupan, maka manusia menjadi sering cenderung sombong dan takabur karena kekayaannya, “Kallaa innal insaana layathghoo”, Perhatikan bahwa manusia menjadi sombong, “Arro aahustaghnaa”.
Karena dirinya merasa kaya, dia menjadi gila hormat, pujian, dan dia mudah tersinggung oleh orang miskin dan pada dia pun ada kecenderungan manusia menghormati seseorang karena melihat kekayaannya.
Al-Qur’an juga mengamanatkan, harta yang ada pada diri kita adalah bagian dari fitnah yaitu ujian dari Allah, ujian keimanan dan kehidupan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar