Kolaborasi Kain Tradisional Menjadi Gaun-Gaun Cantik, Stylish dan Modern
Tidak bisa
dipungkiri, keberadaan kain tradisional oleh sebagian pihak sering
dinomorduakan. Namun di Jakarta Fashion and Food Festival atau JFFF,
kain tradisional begitu dibanggakan.
Ari Seputra
Sulit rasanya menggambarkan keindahan kain tradisional khas Nusantara. Pertama, jenisnya begitu beraneka ragam, bergantung pada asal daerah masing-masing. Kedua, ada cerita di balik setiap helai kain. Ketiga, proses pengerjaan yang sulit dan butuh ketelatenan.
Namun, di balik keindahan itu, masih saja ada yang memandang sebelah mata soal kain tradisional. Alasan paling dominan, kain tradisional tidak pernah diolah ke dalam bentuk yang modern. Mustahil rasanya dipakai di era modern seperti saat ini.
Jujur, beberapa tahun lalu hal itu memang jadi kendala mengapa kain tradisional sulit untuk go internasional. Tapi, berkat dukungan penuh beberapa yayasan kain tradisional, partisipasi para fashion designer dalam negeri yang peduli dengan kelangsungan kain ini, kain tradisional kini sudah tidak dapat dipandang sebelah mata lagi.
Cita Tenun Indonesia, misalnya. Sejak tahun 2008 terus mendukung pengrajin tenun di Indonesia yang tersebar di puluhan pelosok negeri. Kain-kain tenun ini dilestarikan, dikembangkan, hingga dipasarkan sedemikian rupa agar terus lestari. Secara rutin pula, Cita Tenun Indonesia, juga bekerja sama dengan para fashion designer papan atas Indonesia untuk membawa kain tradisional ini agar lebih bisa diterima oleh masyarakat.
Stephanus Hamy
Auguste Soesastro
Benang lungsi adalah benang yang memanjang pada alat tenun, benang pakan adalah benang horizontal yang masuk keluar pada lungsi saat menenun. Lewat jalinan kedua benang tersebut, terciptalah berbagai macam motif tenun yang indah.
Priyo Oktaviano
Denny Wirawan
Auguste Soesastro, desainer yang terkenal dengan koleksi baju bersiluet minimalis dan tak jarang tanpa ada garis jahitan pada samping baju, mewakili daerah Sambas. Koleksi tenun daerah itu ia terapkan dalam koleksi kecilnya untuk Kraton by Auguste Soesastro. Selain itu, Chossy Latu membawa tenun daerah Halaban, Sumatera Barat, dan menampilkan tema “Songket and The City”. Kami bisa membayangkan dengan jelas bahwa koleksi ini bisa saja dipakai oleh Sarah Jessica Parker.
Chossy Latu
Ari Seputra mengambil kain tenun dari
Lombok dan menjadikan koleksinya sarat warna-warna monokromatis. Denny
Wirawan membawa tenun dari Sulawesi Tenggara dan menampilkan tema “Ocean
Wave”. Sedangkan Priyo Oktaviano terinspirasi oleh masyarakat suku
Baduy yang teknik pembuatan kain tenunnya memperlihatkan garis
geometris. Terakhir, Stephanus Hamy yang mengangkat kain tenun binaan
daerah Bali yang mengajak kita bereksplorasi dengan sisi lain Pulau
Dewata.
Lewat karya-karya para desainer tersebut
yang terus mendukung perkembangan kain tenun, kekhawatiran kita tentang
nasib kain tradisional bisa dikurangi. Lewat pengolahan kain menjadi
sebuah pakaian yang modern, kini anak muda pun bisa bereksplorasi dengan
bebas dan bisa memenetrasikan kain tradisional ke dalam signature style mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar