Jumat, 11 November 2016

Wanita-Wanita Tangguh Indonesia 4


Astronot Wanita Pertama di Asia dari Indonesia

Namanya Pratiwi Sudarmono.
Prestasi Indonesia di bidang astronomi memang jarang kita dengar. Namun siapa sangka kalau dulu Indonesia pernah punya astronot. Adalah Pratiwi Sudarmono, astronot pertama Indonesia sekaligus astronot wanita pertama di Asia. Wow!

Pratiwi adalah seorang ilmuwan dari Universitas Indonesia yang mendalami ilmu mikrobiologi. Wanita yang lahir di Bandung pada 31 Juli 1952 ini juga pernah menjalani pendidikannya di University of Osaka, Jepang. Wanita berparas ayu ini memang tampak sangat haus ilmu dan juga bekerja sama dengan WHO, badan kesehatan dunia untuk meneliti Salmonella typhi.

Lantas bagaimana ceritanya Pratiwi bisa menjadi astronot?

Kala itu Indonesia berencana akan memberangkatkan astronot dalam misi STS-61-H yang menggunakan pesawat ulang-alik Columbia STS-61-H yang direncanakan berangkat tahun 1986, lalu akan meluncurkan tiga satelit komersil Skynet 4A, Palapa B3 dan Westar 6S.

Seperti yang kamu tahu Palapa B3 merupakan satelit milik Indonesia. Karena itulah pemerintah berusaha mengirim anak bangsanya ke luar angkasa. Rencananya, Pratiwi bertugas sebagai pay load specialist atau kru yang mengoperasikan satelit Palapa B3 dalam misi tersebut. Sebagai astronot cadangan ditunjuk Taufik Akbar yang merupakan engineer dari PT Telkom.

Keduanya lalu dilatih oleh NASA Amerika Serikat hingga mereka siap diterbangkan ke luar angkasa. Namun sayang, Pratiwi yang seharusnya berangkat pada bulan Juni 1986 urung terbang, karena meledaknya Pesawat Challenger yang sedianya akan membawa Pratiwi ke luar angkasa.


Pratiwi bersama Taufik Akbar. Back Up Crew Pratiwi Sudarmono yang merupakan engineer dari PT Telkom

Akibat dari insiden ini, NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa. Tak terkecuali Columbia yang akan mengangkut satelit Palapa milik Indonesia. Para astronot yang tadinya direncanakan ikut dalam misi tersebut pun ikut batal berangkat, termasuk Pratiwi.

Satelit B3 akhirnya tetap diluncurkan dengan roket Delta tanpa kehadiran astronot dari Indonesia. Setelah insiden itu, hingga kini belum ada rencana lagi untuk Indonesia mengirimkan astronot ke luar angkasa. Ya, setidaknya Pratiwi sudah mencatatkan namanya sebagai Astronot pertama di Indonesia.


Biografi Pratiwi Pujilestari Sudarmono 


Lahir: 31 Juli 1952 Bandung

Kewarganegaraan: Indonesia

Status: Pensiun

Profesi lain: Ilmuwan

Seleksi: 30 September 1985[1]

Misi: STS-61-H

adalah seorang ilmuwan Indonesia. Saat ini ia menjabat sebagai profesor mikrobiologi di Universitas Indonesia, Jakarta.

Pratiwi Sudarmono menerima gelar Master dari Universitas Indonesia pada 1977, dan Ph.D. dalam bidang Biologi Molekuler dari Universitas Osaka, Jepang pada 1984. Ia kemudian memulai karier ilmiahnya sebagai penerima beasiswa WHO untuk meneliti biologi molekuler Salmonella typhi. Sejak 1994 hingga 2000, ia menjabat sebagai ketua Departemen Mikrobiologi Fakultas Medis Universitas Indonesia. Sejak 2001 hingga 2002, ia menjadi peserta Program Sarjana Fulbright New Century.

Misi Wahana Antariksa STS-61-H
 
Indonesia berencana akan memberangkatkan astronot dalam misi STS-61-H yang menggunakan pesawat ulang-alik Columbia. STS-61-H yang direncanakan berangkat tahun 1986 ini akan meluncurkan tiga satelit komersil Skynet 4A, Palapa B3 and Westar 6S.

Palapa B3 merupakan satelit Indonesia. Karena itu pemerintah merasa perlu memberangkatkan astronot sendiri. Rencananya Pratiwi akan menjadi pay load specialist, atau kru yang mengoperasikan satelit Palapa B-3 dalam misi tersebut. Untuk astronot cadangan, ditunjuk Taufik Akbar yang merupakan engineer dari PT Telkom.

Keduanya sudah lama berlatih di bawah bimbingan NASA Amerika Serikat. Pemerintah RI sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk latihan ini. Pratiwi dan Taufik pun sudah siap diterbangkan ke luar angkasa.

Tapi sebuah musibah terjadi. Pesawat ulang-alik Challengger yang hendak menuaikan misi STS-51-L, meledak sesaat setelah diluncurkan. Challenger meledak tanggal 28 Januari 1986, hanya 73 detik setelah diluncurkan. Tujuh kru tewas dalam insiden ini.

Akibat dari insiden ini, NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa. Termasuk Columbia yang akan mengangkut satelit Palapa B-3 milik Indonesia.

Para astronot dalam misi penerbangan itu pun batal berangkat. Satelit B-3 akhirnya diluncurkan dengan roket Delta, tanpa kehadiran astronot dari Indonesia.

Setelah itu tak pernah ada lagi rencana Indonesia mengirimkan astronot ke luar angkasa. Pratiwi Sudarmono meneruskan karirnya sebagai ilmuwan, dan Taufik Akbar juga terus berkarir di PT Telkom.

Kisah Abellia: Perempuan Tangguh yang Lolos 10 Beasiswa Sampai ke Luar Negeri


Sepiring matcha honey toast belum juga disentuh. Padahal bunga-bunga es yang bercokol di atas roti panggang kecokelatan itu sudah mulai mencair. Secangkir hot matcha pun cuma diaduk-aduk. Sesekali saja diseruput. Dari tadi, perempuan bernama Abellia Anggi Wardani itu asyik berkisah tentang pengalamannya mencicipi Negeri Tulip.


“Tanggal 2 Oktober saya sudah berangkat lagi ke Belanda. Cuma 3 bulan di Indonesia, itu pun untuk penelitian doctoral tentang konflik—etnis dan religius—di Ambon dan Poso,” ujarnya di sebuah tempat makan Jepang di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan, Minggu, 4 September 2016.

Pengalaman akademis dan sosialnya sudah bertumpuk-tumpuk. Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan daerah-daerah terpencil, terluar, serta terdepan di Indonesia telah disambangi. Prancis dan Belanda jadi saksi hidup gadis Sagitarius itu berjuang menyigi pengetahuan. Namun siapa sangka usianya belum genap kepala tiga.


abel4-86fe567c028fb380ec0565a1b023d51a.JPG


Baru Januari lalu dia terdaftar sebagai mahasiswi program doktoral di University of Tilburg, Belanda. Sebelumnya, ia menuntaskan studi master di universitas yang sama untuk Management of Cultural Diversity. Bicara pendidikan, semangat belajar Abelia memang patut menjadi inspirasi. Berbarengan dengan kuliahnya di jenjang strata satu jurusan sastra Prancis, Universitas Indonesia, perempuan kelahiran Ambarawa itu merampungkan belajar di Université d’Angers, Prancis, untuk tourism management.
Jangan disangka hijrah pendidikannya ini dibiayai dengan kocek pribadi.

Sejak semester tiga, Abel—begitulah ia biasa disapa—sudah menghidupi kuliahnya dengan beasiswa. Setidaknya, sampai sekarang, ada sepuluh beasiswa yang berhasil didapatkan. Kedutaan Prancis, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Orange Tulip, Frans Seda Foundation Research Fellowship, dan LPDP adalah beberapa institusi yang membiayainya.

 

Kalang kabut ‘ditolak’ pemerintah.

 

abel5-f87333909bdbc319b03c5e70c03a98f8.jpg


Perjalanan Abel merengkuh beasiswa sungguh tak mudah. Ia setidaknya pernah ditolak tiga kali. Penggemar Ayu Utami dan Dewi Lestari itu berkisah, mulanya ia gagal memperoleh beasiswa Orange Tulip. Sebab, ia belum resmi diterima di University of Tilburg.

“Orange Tulip bilang, kalau universitasnya belum menerima, mereka gak bisa kasih beasiswanya. Akhirnya aku dikasih surat elektronik. Ya sudah, sedih,” tuturnya, mengenang.
Selang dua hingga tiga pekan, Abel mendapat informasi bahwa ia diterima sebagai mahasiswa Tilberg. Namun ia bingung, sebab tak ada institusi yang membiayainya kala itu.

“Aku bilang ke Tilberg, aku gak bisa dapat bantuan keuangan dari institusi atau perusahaan. Kemudian, mungkin mereka (pihak universitas) ada komunikasi dengan Orange Tulip. Akhirnya, 1-2 pekan kemudian, aku diterima dan dapat beasiswa dari Orange Tulip.”


abel3-3bdc86bf8bd18317f73d240cd9aede8b.jpg


Penolakan selanjutnya justru datang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yakni untuk program beasiswa unggulan. Padahal, Abel optimistis bisa memperoleh beasiswa itu. Kabar buruk ihwal gagalnya mendapat beasiswa dari Diknas diterima sebulan setelah Abel pindah ke Belanda untuk menempuh studi master.

“Waktu itu aku memang nekat ke Belanda. Aku pikir, yang penting sekolahnya sudah dibayar (oleh Orange Tulip). Lalu biaya di sana aku pakai uang seadanya dulu dari gaji kerja. Sebulan di sana, aku dapat email kalau gak dapet (beasiswa dari Diknas). Satu minggu nangis dan down,” ujar Abel.
Ia bingung lantaran merasa tak mungkin minta orang tua buat menduiti hidupnya di sana. Maklum, menurut pengakuan Abel, ia tak berasal dari kalangan keluarga kaya raya. Terlebih, hidup di Belanda tak murah.

 

Berada di titik terendah mampu mengubah pandangannya.

 

abel6-f7cbda58138250260b8896cffb5964a3.jpg


Tak bisa menggantungkan hidup kepada siapa pun.
Prinsip itulah yang diyakini Abel. Menangisi keadaan karena gagal memperoleh beasiswa memang sempat dilakukan. Namun tak lama. Ia merasa, menuruti emosi bukan hal yang solutif. Ia lalu berkonsultasi dengan dosen pembimbing akademisnya buat memecahkan masalah finansial.

Ternyata, Dewi Fortuna berada di pihak Abel. Frans Seda Foundation baru saja me-launching beasiswa untuk anak-anak Indonesia yang ingin melakukan riset soal Nusantara. Ia pun lolos beasiswa Frans Seda dan menjadi angkatan pertama yang dibiayai institusi milik Menteri Keuangan semasa Orde Baru itu.
Beasiswa Frans Seda baru dicairkan pada Januari, sementara ia sudah berada di Belanda Oktober, tahun sebelumnya. Kalang kabutlah Abel menghidupi diri sendiri. Beragam cara dilakukan untuk bertahan, termasuk mencuci piring dengan bayaran delapan euro satu jam.

Abel membuktikan bahwa semua orang layak dapat beasiswa, asal punya semangat belajar tinggi.

 

abel7-6843f6704c2bcbace62f33c04819c386.jpg


Ternyata Abel tak cuma sekali ditolak pemerintah untuk urusan beasiswa. Setelah beasiswa unggulan, LPDP rupanya pernah hampir tak meloloskannya.

Ia berkisah, untuk program doktoral, Abel mendaftarkan beasiswa LPDP. Lagi-lagi, ia yakin bakal diterima. Apalagi syarat-syarat yang diminta dari pemerintah sudah komplit dipenuhinya. Namun ia harus menghadapi kenyataan kala tak menemukan namanya termuat di laman LPDP, yang menampilkan daftar calon penerima beasiswa.

“Setelah itu aku down, 3 hari lamanya. Setelah 3 hari, aku di-SMS LPDP untuk mengecek email. Waktu aku cek email, ada attachment. Ada tiga orang tambahan yang dilolosin dari LPDP, termasuk aku. Ini miracle banget,” ujar Abel.

Meski sempat dibuat kecewa, Abel tak kecil hati. Ia lebih senang mengintrospeksi diri, apa yang membuatnya hampir, dan bahkan gagal menerima beasiswa. Menyalahkan siapa pun bukan solusi yang baik buat dia. Menuruti emosi memang tak dielakkan, namun setelahnya ia menetapkan diri untuk berpikir rasional.

Apalagi, tinggal di Belanda lama membuat Abel mengubah cara pandang. Seperti layaknya orang-orang di sana, ia ogah mengkritik atau menyanggah kebijakan bila tak mampu menemukan solusi dan menganalisis duduk permasalahannya dulu.

Memperoleh sepuluh beasiswa dalam kurun waktu 10 tahun membuat pikirannya berkembang. Menurut dia, beasiswa kini bukan lagi milik orang pintar atau yang kekurangan secara finansial. Beasiswa bisa diberikan kepada siapa pun yang punya semangat belajar tinggi.

Ia merekomendasikan pelajar di Indonesia untuk tak malas mengorek informasi tentang beasiswa. Sebab, menurut pengalamannya saat berkuliah di Kampus Jaket Kuning dulu, banyak beasiswa ditawarkan, tapi tak banyak yang mendaftar. Entah karena takut, entah karena malas.
Selain itu, ia meminta pemerintah untuk memperluas jaringan distribusi beasiswa. Sebab, selama ini, kuota beasiswa satu kampus dengan kampus lain tak sebanding. Akibatnya, banyak anak yang butuh beasiswa justru tak terakomodasi.

“Saya pengen pendidikan di Indonesia gak seperti palung dan gunung. Saya sering ke Papua, melihat orang di sana, ekspektasi pendidikannya rendah. Saya berharap pemerintah bisa memberikan fasilitas yang sama,” tuturnya.

 

Mimpi yang belum terwujud.

 

abel2-ae229eda2f8c4cccb4dbce9999ed564b.JPG


Pendiri kelasbahasa.com itu punya cita-cita yang diimpikannya sejak ia duduk di kelas III sekolah dasar dulu, yakni jadi penulis. Melalui riset mendalam, Abel pingin menulis sebuah buku yang menyajikan penelitian konflik yang terjadi di Tanah Air.

Sebab, menurut dia, banyak buku yang menceritakan kultur Indonesia, namun sedikit yang penulisnya berasal dari dalam negeri. Kenyataan ini menyita atensinya. Muncul keprihatinan dan ironi.
“Selain itu, pingin nikah, hahaha,” ucapnya berkelakar.
Abel menutup perbincangan sore itu dengan penuh keteguhan: “
Aku bisa jadi pengesat kaki dalam sebuah kegiatan, tapi juga bisa jadi sutradara kalau dibutuhkan.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Electricity Lightning