14 Tahun Baitul Maqdis Dijadikan Kiblat Umat Islam
Pada awal Islam, Rasulullah SAW bersama ummat Islam mendirikan sholat
menghadap ke Baitul Maqdis. Hal ini dilakukan selama kurang lebih
sekitar 14 tahun lamanya.
Namun pada akhirnya, Allah SWT menyuruh Umat Islam agar kiblatnya ke Ka'bah.
Namun pada akhirnya, Allah SWT menyuruh Umat Islam agar kiblatnya ke Ka'bah.
Kisahnya
Semasa Nabi Muhammad masih berada di kota Makkah, bila
mendirikan shalat, beliau berdiri di sisi selatan Ka'bah, sehingga dapat
menghadap ke Baitul Maqdis dan sekaligus juga menghadap ke Ka'bah.
Beliau sangat menghargai Baitul Maqdis yang terkenal dengan tanah
kelahiran para nabi Allah SWT.
Namun setelah beliau hijrah ke kota Madinah, beliau tidak dapat
melakukan hal tersebut, mengingat kota Madinah berada di arah utara Kota
Makkah, dan Baitul Maqdis berada di arah utara kota Madinah.
Letak geografis kota Madinah ini menjadikan beliau harus membelakangi Ka'bah bila sedang mendirikan shalat. Dan Beliau tidak ingin membelakangi Ka'bah.
Letak geografis kota Madinah ini menjadikan beliau harus membelakangi Ka'bah bila sedang mendirikan shalat. Dan Beliau tidak ingin membelakangi Ka'bah.
Perubahan ini, menjadikan beliau bersedih, karena sejatinya beliau lebih
suka bila kiblatnya menghadap ke Ka'bah yang merupakan kiblatnya Nabi
Ibrahim as, Si Peletak dasar bangunan Ka'bah yang dikerjakan bersama
puteranya, Ismail as.
Rasa sedih ini menjadikan beliau selama kurang lebih 16 bulan sering
menengadahkan wajahnya ke langit dengan harapan Allah memindahkan arah
kiblat shalatnya ke Ka'bah. Kira-kira satu setengah tahun lamanya Nabi
berdoa kepada Allah SWT agar diberi petunjuk.
Perubahan Arah Kiblat dari Baitul Maqdis Ke Makkah
Subhanallah...
setelah sekian lama, akhirnya Allah mengabulkan juga harapan beliau
sehingga kiblat shalat dipindahkan ke Ka'bah, sebagaimana dikisahkan
dalam ayat 144 surat Al Baqarah.
Allah SWT berfirman,
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya:
sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
(QS. Al-Baqarah: 144).
Perubahan arah kiblat ini menjadikan kaum yahudi dan juga lainnya
bertanya-tanya keheranan, apa gerangan yang menjadikan Nabi Muhammad
berpindah arah kiblat?
Allah SWT menjawab Keheranan orang-orang Yahudi melalui firmanNya:
قُل لِّلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
"Katakan wahai Muhammad, hanya milik Allah-lah arah timur dan barat. allah menunjuki siapa saja yang Ia kehendaki menuju jalan yang lurus."
(QS. Al-baqarah: 142)
Pada ayat ini, dengan jelas Allah menegaskan bahwa urusan shalat
menghadap ke timur, barat atau lainnya sepenuhnya adalah wewenang Allah,
karena Dialah Pencipta alam semesta ini dengan segala arah yang ada.
Dengan demikian, menghadap kemana saja asalkan itu sesuai dengan petunjuk Allah maka itu tidak menjadi soal alias benar.
Namun apalah artinya menghadap ke suatu arah, bila perbuatan tersebut
(menghadap ke arah tersebut) tidak dilandasi petunjuk dari Allah.
Shalat Boleh Menghadap Ke Arah Mana Saja
Pada ayat lain, dengan
lebih tegas Allah menjelaskan bahwa sekedar menghadap ke arah mana saja,
timur, barat, utara, atau selatan tidaklah ada nilainya.
Menghadap ke suatu arah hanyalah bernilai ibadah bila anda menghadap ke
arah tersebut di landasi oleh nilai-nilai keimanan kepada Allah. Anda
menghadap ke arah tersebut karena anda mematuhi perintah Allah semata.
Sebagaimana menghadap ke suatu arah hanya akan bernilai ibadah bila anda
lakukan demi mengharap kebahagiaan hidup di akhirat. Demikian Allah
tegaskan pada ayat 177 surat al baqarah.
Allah SWT berfirman,
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Artinya:
"Kebajikan itu bukanlah sekedar menghadapkan wajah ke arah timur dan barat. Namun kebajikan yang sejati adalah kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang yang dalam perjalanan/ safar, peminta-minta, dan memerdekakan budak. Sebagaimana mereka juga mendirikan shalat , membayar zakat, dan selalu memenuhi janji bila berjanji. Mereka juga bersabar ketika ditimpa kesusahan, derita, dan ketika berperang. Mereka itulah orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang nyata-nyata bertaqwa."
(QS. Al-Baqarah: 177).
Mengapa Arah Kiblat Dipindahkan?
PERISTIWA perpindahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab tahun
ke-12 pasca Hijrah. Saat Rasulullah melaksanakan shalat Dzuhur kemudian
turun wahyu untuk memindahkan arah kiblat. Maka dalam riwayat disebutkan
bahwa Nabi sempat shalat 2 rakaat menghadap Baitul Maqdis (masjidil
Aqsa) dan 2 rakaat berikutnya menghadap Ka’bah, di masjidil Haram.
Wahyu yang turun tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 144, “Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi
Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali
tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah:144)
Makna Perpindahan Kiblat
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan
perintah shalat dan menghadap ke Masjid al-Aqsha (Palestina), hal itu
dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai
macam berhala dan sesembahan.
Ketika itu, kondisi Masjid al-Haram (Kabah) yang merupakan tempat
keberangkatan Isra’ dan Mi’raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab,
kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah
dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam.
Sehingga, di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum
bisa menunai kan ibadah shalat di tempat tersebut.
Selain itu, jika Rasulullah SAW saat itu melaksanakan shalat dengan
menghadap ke Masjid al-Haram tentu akan menjadi kebanggaan bagi kaum
kafir quraisy, bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala
mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya shalat
dengan menghadap ke Baitul Maqdis (al-Aqsha).
Dalam surah Al Baqarah ayat 142, Allah SWT menjelaskan mengapa perpindahan kiblat itu dilakukan.
Orang-orang sufaha diantara manusia akan berkata: “Apakah yang
memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang
dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.
Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan mengenai tafsir ayat ini :
Yang dimaksud dengan sufaha ialah kaum musrik Arab, para pendeta
Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu
Rasulullah saw. Disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Mekkah, beliau
shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka`bah berada
dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah beliau
hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka
Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan
oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Kemudian mereka berselisih, apakah
perintah itu melalui Al-Qur`an atau melalui yang lainnya? Para ulama
terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri
berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi saw.
Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah
Nabi saw. Tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau
banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka`bah
yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memenuhi doanya dan
diperintahkan menghadap ke Ka`bah. Maka Nabi saw. Memberitahukan hal itu
kepada Khalayak. Shalat pertama yang menghadap Ka`bah adalah shalat
ashar, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadits
al-Barra` r.a. (137), “Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke
Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau
kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka`bah.
Shalat pertama menghadap
Ka`bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang. Lalu,
salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid
lainnya yang ternyata sedang ruku`. Dia berkata, Aku bersaksi dengan
nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw
sambil menghadap ke Mekkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke
Baitullah”. Menurut Nasa`I shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani
Salamah. Dalam hadits Nuwailah binti Muslim dikatakan (138), “Bahwa
sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka
tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, “Maka jama`ah laki-laki bertukar
tempat dengan jama`ah perempuan (untuk menyesuaikan posisi).”
Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Kuba pada saat shalat
fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata (139),
“Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Al-Qur`an kepada
Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka`bah, maka menghadaplah
kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka
mereka pun berputar menghadap Ka`bah. Hadits ini mengandung dalil bahwa
keterangan yang menasakh tidak dapat ditetapkan hukumnya kecuali setelah
diketahui, meskipun telah lama turun dan disampaikan. Karena mereka
tidak disuruh mengulangi shalat ashar, maghrib dan isya. Wallahu a`lam.
Tatkala ini terjadi, timbullah pada sebagian kaum musyrik, munafiqin,
dan ahli kitab keraguan, penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan
meragukan kejadian.
Mereka berkata, “Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya
yang dahulu dipegangnya?” Yakni, apa yang telah membuat mereka
kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke
Ka`bah?
Maka Allah menurunkan ayat
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah.” (QS. Al Baqarah (2) : 115)
Yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, “Maka kemanapun kamu
menghadap, maka disanalah wajah Allah” dan “Kebaktian itu bukanlah
dengan menghadapkan wajahmu ketimur atau kebarat, namun kebaktian itu
dengan berimannya seseorang kepada Allah.”
Yakni kemanapun Allah mengarahkan kita, maka kesanalah kita
menghadap. Karena kesempurnaan ketaatan itu adalah dengan menjalankan
berbagai perintah-Nya walaupun setiap hari Allah mengarahkan kita ke
berbagai arah. Karena kita adalah hamba-Nya dan berada di bawah
pengaturan-Nya. Di antara perhatian-Nya yang besar terhadap umat
Muhammad ialah Dia menunjukkan mereka ke kiblat al-Khalil Ibrahim a.s.
Oleh karena itu, Dia berfirman, “Katakanlah, Kepunyaan Allahlan timur
dan barat, Dia menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.” (Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)
Dapat ditarik hikmah:
Perpindahan kiblat tersebut adalah dalam ibadat shalat itu bukanlah
arah Baitul Maqdis dan ka’bah itu menjadi tujuan, tetapi wujud berserah
diri kepada Allah bukan untuk menyembah ka’bah seperti yang difitnahkan
para pecundang pembenci Islam. Mereka menuduh muslim menyembah ka’bah
dan Allah hanya ada di sana.
Ka’bah merupakan pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat.
Sama seperti al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika
itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan
debu. Ini adalah menunjukkan sangat pentingnya persatuan umat Islam.
Menghadap kiblat adalah wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah
karena memang diperintahkan demikian. Kemanapun arah diperintahkan, maka
wajib melaksanakannya sehingga menjadi salah satu syarat syahnya
sholat.
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar