Tak hanya
pintu dan gerbang yang butuh untuk digembok dan di kunci untuk menyelamatkan
harta dan materi yang terkumpul tetapi justru yang paling layak untuk dikunci
dan digembok ialah lisan untuk menjaga harta ketaatan dan pahala ibadah supaya
ia tak menguap kelak hari kiamat ketika tegak mizan Allah.
Karena
hakekatnya lisan ialah layaknya mata uang yang memiliki dua sisi, sisi syurga
dan sisi neraka, karena lisan terletak diantara keduanya tergantung yang keluar
darinya, sehingga apabila lisan ketika dikuasai oleh hamba beriman layaknya
lebah, antara yang keluar dan masuk selalu berisi penuh dengan kebaikan, tapi
ketika lisan dimiliki oleh hamba miskin akhlaq dan ilmu maka layaknya lalat antara
yang nasuk dan keluar ialah kotoran yang menjijikan
Diantara pusaran dosa lisan begitu beragam dan penuh variasi, dari mulai berdusta, hingga ghibah menjadi fitnah dan mengikuti prasangka yang dihembuskan syaithan sehingga menjadikan hati menghitam pekat tak lagi mencintai saudaranya karena iman ketaqwaan
Amirul mukminin Umar bin Khattab berkata,
“Janganlah sekali-kali kalian menafsirkan perkataan saudara kalian sesama orang mukmin dengan prasangka, kecuali yang baik-baik saja, selagi kamu masih mendapatkan penafsiran yang baik atas perkataannya.”
Perkataan ini disebutkan oleh ibnu Katsir dalam tafsirnya surat Al-Hujurat.
Abu Bakr bin Abdillah Al-Muzani sebagaimana disebutkan dalam biografinya dalam kitab At-Tahdzib wat Tahdzib. Beliau mengatakan,
“Jauhilah olehmu perkataan yang apabila kamu banar, engkau tidak mendapatkan pahalanya, namun jika salah, kamu mendapatkan dosanya, itulah buruk sangka kepada saudaramu sesama musim.”
Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarami, sebagimana diseutkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah (2/285), bahwa beliau berkata,
“Apabila sampai kepadamu berita yang tidak engkau sukai mengenai saudaramu, maka carilah udzur untuknya sekuat kemampuanmu. Jika kamu tidak mendapatkan udzur untuknya, maka katakanlah pada dirimu, “Mungkin sauadaraku mempunyai alas an yang tidak aku ketahui"
Diantara pusaran dosa lisan begitu beragam dan penuh variasi, dari mulai berdusta, hingga ghibah menjadi fitnah dan mengikuti prasangka yang dihembuskan syaithan sehingga menjadikan hati menghitam pekat tak lagi mencintai saudaranya karena iman ketaqwaan
Amirul mukminin Umar bin Khattab berkata,
“Janganlah sekali-kali kalian menafsirkan perkataan saudara kalian sesama orang mukmin dengan prasangka, kecuali yang baik-baik saja, selagi kamu masih mendapatkan penafsiran yang baik atas perkataannya.”
Perkataan ini disebutkan oleh ibnu Katsir dalam tafsirnya surat Al-Hujurat.
Abu Bakr bin Abdillah Al-Muzani sebagaimana disebutkan dalam biografinya dalam kitab At-Tahdzib wat Tahdzib. Beliau mengatakan,
“Jauhilah olehmu perkataan yang apabila kamu banar, engkau tidak mendapatkan pahalanya, namun jika salah, kamu mendapatkan dosanya, itulah buruk sangka kepada saudaramu sesama musim.”
Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarami, sebagimana diseutkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah (2/285), bahwa beliau berkata,
“Apabila sampai kepadamu berita yang tidak engkau sukai mengenai saudaramu, maka carilah udzur untuknya sekuat kemampuanmu. Jika kamu tidak mendapatkan udzur untuknya, maka katakanlah pada dirimu, “Mungkin sauadaraku mempunyai alas an yang tidak aku ketahui"
Sufyan bin
Husain berkata,
“Saya menyebut keburukan seseorang di dekat Iyyas bin Muawiyah, maka beliau menatapku seraya berkata, “Apakah kamu sudah pernah memerangi romawi?”
Saya menjawab, “Belum.” Beliau bertanya lagi, “Kalau negeri Cina, India atau Turki? Saya menjawab, “Belum.” Lantas beliau bekata, “Apakah kamu membiarkan Negara Romawi, Cina, India, dan Turki sedangkan kamu tidak membiarkan saudaramu sesama muslim selamat dari lisanmu?”
Sufyan berkata, “Maka setelah itu saya tidak pernah lagi mengulangi perkataan seperti itu.” (Al-Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir: 13/121)
Alangkah bagus jawaban yang disampaikan oleh Iyyas bin Muawiyah ini.
Beliau adalah orang yang terkenal dengan kecerdasannya, dan jawaban beliau ini adalah salah satu contoh kecerdasannya.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti dalam kitab Raudhatul Uqala (hal.131) mengatakan,
“Saya menyebut keburukan seseorang di dekat Iyyas bin Muawiyah, maka beliau menatapku seraya berkata, “Apakah kamu sudah pernah memerangi romawi?”
Saya menjawab, “Belum.” Beliau bertanya lagi, “Kalau negeri Cina, India atau Turki? Saya menjawab, “Belum.” Lantas beliau bekata, “Apakah kamu membiarkan Negara Romawi, Cina, India, dan Turki sedangkan kamu tidak membiarkan saudaramu sesama muslim selamat dari lisanmu?”
Sufyan berkata, “Maka setelah itu saya tidak pernah lagi mengulangi perkataan seperti itu.” (Al-Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir: 13/121)
Alangkah bagus jawaban yang disampaikan oleh Iyyas bin Muawiyah ini.
Beliau adalah orang yang terkenal dengan kecerdasannya, dan jawaban beliau ini adalah salah satu contoh kecerdasannya.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti dalam kitab Raudhatul Uqala (hal.131) mengatakan,
“YANG
SEHARUSYA DILAKUKAN OLEH ORANG YANG BERAKAL ADALAH TIDAK MENYIBUKKAN DIRI
DENGAN MENCARI-CARI AIB MANUSIA, TAPI HENDAKNYA IA MENYIBUKKAN DIRI DENGAN
MELIHAT AIBNYA SENDIRI.
Barangsiapa yang sibuk melihat aib dirinya, maka badannya akan bisa rehat dan
hatinya tidak akan merasa lelah.
Dan semakin dia mengetahui aib dirinya, maka aib yang ada pada saudaranya akan semakin nampak kecil dalam pandangannya*.
Sebaliknya, barangsiapa yang sibuk dengan aib orang lain, maka hatinya akan menjadi buta dan badannya akan kelelahan*, bahkan dia tidak akan mampu meninggalkan sesuatu syang sebenarnya adalah aib bagi dirinya.”
Lisanmu
dan tulisanmu, sudahkah memiliki gembok ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar