Astronot Wanita Pertama di Asia dari Indonesia
Namanya Pratiwi Sudarmono.
Prestasi
Indonesia di bidang astronomi memang jarang kita dengar. Namun siapa
sangka kalau dulu Indonesia pernah punya astronot. Adalah Pratiwi
Sudarmono, astronot pertama Indonesia sekaligus astronot wanita pertama
di Asia. Wow!
Pratiwi adalah seorang ilmuwan dari Universitas Indonesia yang mendalami ilmu mikrobiologi. Wanita yang lahir di Bandung pada 31 Juli 1952 ini juga pernah menjalani pendidikannya di University of Osaka, Jepang. Wanita berparas ayu ini memang tampak sangat haus ilmu dan juga bekerja sama dengan WHO, badan kesehatan dunia untuk meneliti Salmonella typhi.
Lantas bagaimana ceritanya Pratiwi bisa menjadi astronot?
Kala itu Indonesia berencana akan memberangkatkan astronot dalam misi STS-61-H yang menggunakan pesawat ulang-alik Columbia STS-61-H yang direncanakan berangkat tahun 1986, lalu akan meluncurkan tiga satelit komersil Skynet 4A, Palapa B3 dan Westar 6S.
Seperti yang kamu tahu Palapa B3 merupakan satelit milik Indonesia. Karena itulah pemerintah berusaha mengirim anak bangsanya ke luar angkasa. Rencananya, Pratiwi bertugas sebagai pay load specialist atau kru yang mengoperasikan satelit Palapa B3 dalam misi tersebut. Sebagai astronot cadangan ditunjuk Taufik Akbar yang merupakan engineer dari PT Telkom.
Keduanya lalu dilatih oleh NASA Amerika Serikat hingga mereka siap diterbangkan ke luar angkasa. Namun sayang, Pratiwi yang seharusnya berangkat pada bulan Juni 1986 urung terbang, karena meledaknya Pesawat Challenger yang sedianya akan membawa Pratiwi ke luar angkasa.
Pratiwi adalah seorang ilmuwan dari Universitas Indonesia yang mendalami ilmu mikrobiologi. Wanita yang lahir di Bandung pada 31 Juli 1952 ini juga pernah menjalani pendidikannya di University of Osaka, Jepang. Wanita berparas ayu ini memang tampak sangat haus ilmu dan juga bekerja sama dengan WHO, badan kesehatan dunia untuk meneliti Salmonella typhi.
Lantas bagaimana ceritanya Pratiwi bisa menjadi astronot?
Kala itu Indonesia berencana akan memberangkatkan astronot dalam misi STS-61-H yang menggunakan pesawat ulang-alik Columbia STS-61-H yang direncanakan berangkat tahun 1986, lalu akan meluncurkan tiga satelit komersil Skynet 4A, Palapa B3 dan Westar 6S.
Seperti yang kamu tahu Palapa B3 merupakan satelit milik Indonesia. Karena itulah pemerintah berusaha mengirim anak bangsanya ke luar angkasa. Rencananya, Pratiwi bertugas sebagai pay load specialist atau kru yang mengoperasikan satelit Palapa B3 dalam misi tersebut. Sebagai astronot cadangan ditunjuk Taufik Akbar yang merupakan engineer dari PT Telkom.
Keduanya lalu dilatih oleh NASA Amerika Serikat hingga mereka siap diterbangkan ke luar angkasa. Namun sayang, Pratiwi yang seharusnya berangkat pada bulan Juni 1986 urung terbang, karena meledaknya Pesawat Challenger yang sedianya akan membawa Pratiwi ke luar angkasa.
Pratiwi bersama Taufik Akbar. Back Up
Crew Pratiwi Sudarmono yang merupakan engineer dari PT Telkom
Akibat dari insiden ini, NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa. Tak terkecuali Columbia yang akan mengangkut satelit Palapa milik Indonesia. Para astronot yang tadinya direncanakan ikut dalam misi tersebut pun ikut batal berangkat, termasuk Pratiwi.
Satelit B3 akhirnya tetap diluncurkan dengan roket Delta tanpa kehadiran astronot dari Indonesia. Setelah insiden itu, hingga kini belum ada rencana lagi untuk Indonesia mengirimkan astronot ke luar angkasa. Ya, setidaknya Pratiwi sudah mencatatkan namanya sebagai Astronot pertama di Indonesia.
Akibat dari insiden ini, NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa. Tak terkecuali Columbia yang akan mengangkut satelit Palapa milik Indonesia. Para astronot yang tadinya direncanakan ikut dalam misi tersebut pun ikut batal berangkat, termasuk Pratiwi.
Satelit B3 akhirnya tetap diluncurkan dengan roket Delta tanpa kehadiran astronot dari Indonesia. Setelah insiden itu, hingga kini belum ada rencana lagi untuk Indonesia mengirimkan astronot ke luar angkasa. Ya, setidaknya Pratiwi sudah mencatatkan namanya sebagai Astronot pertama di Indonesia.
Biografi Pratiwi Pujilestari Sudarmono
Lahir: 31 Juli 1952 Bandung
Kewarganegaraan: Indonesia
Status: Pensiun
Profesi lain: Ilmuwan
Seleksi: 30 September 1985[1]
Misi: STS-61-H
adalah seorang ilmuwan Indonesia. Saat ini ia menjabat sebagai profesor mikrobiologi di Universitas Indonesia, Jakarta.
Pratiwi Sudarmono menerima gelar Master dari Universitas Indonesia pada
1977, dan Ph.D. dalam bidang Biologi Molekuler dari Universitas Osaka,
Jepang pada 1984. Ia kemudian memulai karier ilmiahnya sebagai penerima
beasiswa WHO untuk meneliti biologi molekuler Salmonella typhi. Sejak
1994 hingga 2000, ia menjabat sebagai ketua Departemen Mikrobiologi
Fakultas Medis Universitas Indonesia. Sejak 2001 hingga 2002, ia menjadi
peserta Program Sarjana Fulbright New Century.
Misi Wahana Antariksa STS-61-H
Misi Wahana Antariksa STS-61-H
Indonesia berencana akan memberangkatkan astronot dalam misi STS-61-H yang menggunakan pesawat ulang-alik Columbia. STS-61-H yang direncanakan berangkat tahun 1986 ini akan meluncurkan tiga satelit komersil Skynet 4A, Palapa B3 and Westar 6S.
Palapa B3 merupakan satelit Indonesia. Karena itu pemerintah merasa perlu memberangkatkan astronot sendiri. Rencananya Pratiwi akan menjadi pay load specialist, atau kru yang mengoperasikan satelit Palapa B-3 dalam misi tersebut. Untuk astronot cadangan, ditunjuk Taufik Akbar yang merupakan engineer dari PT Telkom.
Keduanya sudah lama berlatih di bawah bimbingan NASA Amerika Serikat. Pemerintah RI sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk latihan ini. Pratiwi dan Taufik pun sudah siap diterbangkan ke luar angkasa.
Tapi sebuah musibah terjadi. Pesawat ulang-alik Challengger yang hendak menuaikan misi STS-51-L, meledak sesaat setelah diluncurkan. Challenger meledak tanggal 28 Januari 1986, hanya 73 detik setelah diluncurkan. Tujuh kru tewas dalam insiden ini.
Akibat dari insiden ini, NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa. Termasuk Columbia yang akan mengangkut satelit Palapa B-3 milik Indonesia.
Para astronot dalam misi penerbangan itu pun batal berangkat. Satelit B-3 akhirnya diluncurkan dengan roket Delta, tanpa kehadiran astronot dari Indonesia.
Setelah itu tak pernah ada lagi rencana Indonesia mengirimkan astronot ke luar angkasa. Pratiwi Sudarmono meneruskan karirnya sebagai ilmuwan, dan Taufik Akbar juga terus berkarir di PT Telkom.
Kisah Abellia: Perempuan Tangguh yang Lolos 10 Beasiswa Sampai ke Luar Negeri
Sepiring matcha honey toast belum juga disentuh. Padahal bunga-bunga es yang bercokol di atas roti panggang kecokelatan itu sudah mulai mencair. Secangkir hot matcha
pun cuma diaduk-aduk. Sesekali saja diseruput. Dari tadi, perempuan
bernama Abellia Anggi Wardani itu asyik berkisah tentang pengalamannya
mencicipi Negeri Tulip.
“Tanggal 2 Oktober saya sudah
berangkat lagi ke Belanda. Cuma 3 bulan di Indonesia, itu pun untuk
penelitian doctoral tentang konflik—etnis dan religius—di Ambon dan
Poso,” ujarnya di sebuah tempat makan Jepang di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan, Minggu, 4 September 2016.
Pengalaman akademis dan sosialnya sudah
bertumpuk-tumpuk. Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan daerah-daerah
terpencil, terluar, serta terdepan di Indonesia telah disambangi.
Prancis dan Belanda jadi saksi hidup gadis Sagitarius itu berjuang
menyigi pengetahuan. Namun siapa sangka usianya belum genap kepala tiga.
Baru Januari lalu dia terdaftar sebagai
mahasiswi program doktoral di University of Tilburg, Belanda.
Sebelumnya, ia menuntaskan studi master di universitas yang sama untuk Management of Cultural Diversity.
Bicara pendidikan, semangat belajar Abelia memang patut menjadi
inspirasi. Berbarengan dengan kuliahnya di jenjang strata satu jurusan
sastra Prancis, Universitas Indonesia, perempuan kelahiran Ambarawa itu
merampungkan belajar di Université d’Angers, Prancis, untuk tourism management.
Jangan disangka hijrah pendidikannya ini dibiayai dengan kocek pribadi.
Sejak semester tiga, Abel—begitulah ia
biasa disapa—sudah menghidupi kuliahnya dengan beasiswa. Setidaknya,
sampai sekarang, ada sepuluh beasiswa yang berhasil didapatkan. Kedutaan
Prancis, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Orange Tulip, Frans
Seda Foundation Research Fellowship, dan LPDP adalah beberapa institusi
yang membiayainya.
Kalang kabut ‘ditolak’ pemerintah.
Perjalanan Abel merengkuh beasiswa sungguh
tak mudah. Ia setidaknya pernah ditolak tiga kali. Penggemar Ayu Utami
dan Dewi Lestari itu berkisah, mulanya ia gagal memperoleh beasiswa
Orange Tulip. Sebab, ia belum resmi diterima di University of Tilburg.
“Orange Tulip bilang, kalau
universitasnya belum menerima, mereka gak bisa kasih beasiswanya.
Akhirnya aku dikasih surat elektronik. Ya sudah, sedih,” tuturnya, mengenang.
Selang dua hingga tiga pekan, Abel
mendapat informasi bahwa ia diterima sebagai mahasiswa Tilberg. Namun ia
bingung, sebab tak ada institusi yang membiayainya kala itu.
“Aku bilang ke Tilberg, aku gak bisa
dapat bantuan keuangan dari institusi atau perusahaan. Kemudian, mungkin
mereka (pihak universitas) ada komunikasi dengan Orange Tulip.
Akhirnya, 1-2 pekan kemudian, aku diterima dan dapat beasiswa dari
Orange Tulip.”
Penolakan selanjutnya justru datang dari
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yakni untuk program beasiswa unggulan.
Padahal, Abel optimistis bisa memperoleh beasiswa itu. Kabar buruk ihwal
gagalnya mendapat beasiswa dari Diknas diterima sebulan setelah Abel
pindah ke Belanda untuk menempuh studi master.
“Waktu itu aku memang nekat ke
Belanda. Aku pikir, yang penting sekolahnya sudah dibayar (oleh Orange
Tulip). Lalu biaya di sana aku pakai uang seadanya dulu dari gaji kerja.
Sebulan di sana, aku dapat email kalau gak dapet (beasiswa dari
Diknas). Satu minggu nangis dan down,” ujar Abel.
Ia bingung lantaran merasa tak mungkin
minta orang tua buat menduiti hidupnya di sana. Maklum, menurut
pengakuan Abel, ia tak berasal dari kalangan keluarga kaya raya.
Terlebih, hidup di Belanda tak murah.
Berada di titik terendah mampu mengubah pandangannya.
Tak bisa menggantungkan hidup kepada siapa pun.
Prinsip itulah yang diyakini Abel.
Menangisi keadaan karena gagal memperoleh beasiswa memang sempat
dilakukan. Namun tak lama. Ia merasa, menuruti emosi bukan hal yang
solutif. Ia lalu berkonsultasi dengan dosen pembimbing akademisnya buat
memecahkan masalah finansial.
Ternyata, Dewi Fortuna berada di pihak Abel. Frans Seda Foundation baru saja me-launching
beasiswa untuk anak-anak Indonesia yang ingin melakukan riset soal
Nusantara. Ia pun lolos beasiswa Frans Seda dan menjadi angkatan pertama
yang dibiayai institusi milik Menteri Keuangan semasa Orde Baru itu.
Beasiswa Frans Seda baru dicairkan pada
Januari, sementara ia sudah berada di Belanda Oktober, tahun sebelumnya.
Kalang kabutlah Abel menghidupi diri sendiri. Beragam cara dilakukan
untuk bertahan, termasuk mencuci piring dengan bayaran delapan euro satu
jam.
Abel membuktikan bahwa semua orang layak dapat beasiswa, asal punya semangat belajar tinggi.
Ternyata Abel tak cuma sekali ditolak
pemerintah untuk urusan beasiswa. Setelah beasiswa unggulan, LPDP
rupanya pernah hampir tak meloloskannya.
Ia berkisah, untuk program doktoral, Abel
mendaftarkan beasiswa LPDP. Lagi-lagi, ia yakin bakal diterima. Apalagi
syarat-syarat yang diminta dari pemerintah sudah komplit dipenuhinya.
Namun ia harus menghadapi kenyataan kala tak menemukan namanya termuat
di laman LPDP, yang menampilkan daftar calon penerima beasiswa.
“Setelah itu aku down, 3 hari lamanya.
Setelah 3 hari, aku di-SMS LPDP untuk mengecek email. Waktu aku cek
email, ada attachment. Ada tiga orang tambahan yang dilolosin dari LPDP,
termasuk aku. Ini miracle banget,” ujar Abel.
Meski sempat dibuat kecewa, Abel tak kecil
hati. Ia lebih senang mengintrospeksi diri, apa yang membuatnya hampir,
dan bahkan gagal menerima beasiswa. Menyalahkan siapa pun bukan solusi
yang baik buat dia. Menuruti emosi memang tak dielakkan, namun
setelahnya ia menetapkan diri untuk berpikir rasional.
Apalagi, tinggal di Belanda lama membuat
Abel mengubah cara pandang. Seperti layaknya orang-orang di sana, ia
ogah mengkritik atau menyanggah kebijakan bila tak mampu menemukan
solusi dan menganalisis duduk permasalahannya dulu.
Memperoleh sepuluh beasiswa dalam kurun
waktu 10 tahun membuat pikirannya berkembang. Menurut dia, beasiswa kini
bukan lagi milik orang pintar atau yang kekurangan secara finansial.
Beasiswa bisa diberikan kepada siapa pun yang punya semangat belajar
tinggi.
Ia merekomendasikan pelajar di Indonesia
untuk tak malas mengorek informasi tentang beasiswa. Sebab, menurut
pengalamannya saat berkuliah di Kampus Jaket Kuning dulu, banyak
beasiswa ditawarkan, tapi tak banyak yang mendaftar. Entah karena takut,
entah karena malas.
Selain itu, ia meminta pemerintah untuk
memperluas jaringan distribusi beasiswa. Sebab, selama ini, kuota
beasiswa satu kampus dengan kampus lain tak sebanding. Akibatnya, banyak
anak yang butuh beasiswa justru tak terakomodasi.
“Saya pengen pendidikan di Indonesia
gak seperti palung dan gunung. Saya sering ke Papua, melihat orang di
sana, ekspektasi pendidikannya rendah. Saya berharap pemerintah bisa
memberikan fasilitas yang sama,” tuturnya.
Mimpi yang belum terwujud.
Pendiri kelasbahasa.com itu punya
cita-cita yang diimpikannya sejak ia duduk di kelas III sekolah dasar
dulu, yakni jadi penulis. Melalui riset mendalam, Abel pingin menulis
sebuah buku yang menyajikan penelitian konflik yang terjadi di Tanah
Air.
Sebab, menurut dia, banyak buku yang
menceritakan kultur Indonesia, namun sedikit yang penulisnya berasal
dari dalam negeri. Kenyataan ini menyita atensinya. Muncul keprihatinan
dan ironi.
“Selain itu, pingin nikah, hahaha,” ucapnya berkelakar.
Abel menutup perbincangan sore itu dengan penuh keteguhan: “
Aku bisa jadi pengesat kaki dalam sebuah kegiatan, tapi juga bisa jadi sutradara kalau dibutuhkan.”