Meneladani Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu
Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang paling utama bahkan ia adalah manusia paling mulia setelah para
nabi dan rasul. Abu Bakar memeluk Islam tatkala orang-orang masih
mengingkari Nabi.
Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu mengatakan, “(Di awal Islam) Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersama lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhum ‘ajmain.” (Riwayat Bukhari).
Sebagaimana telah masyhur, laqob ash-shiddiq disematkan padanya karena ia selalu membenarkan apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana pada pagi hari setelah kejadian isra mi’raj orang-orang
kafir berkata kepadanya, “Temanmu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi
ke Baitul Maqdis dalam semalam”. Abu Bakar menjawab, “Jika ia berkata
demikian, maka itu benar”.
Keutamaan Abu Bakar
Pertama,
dijamin masuk surga dan memasuki semua pintu yang ada di sana, padahal
saat itu beliau masih menjejakkan kaki di muka bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Orang yang menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia
akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah,
kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan
orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu
shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari
pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan
dipanggil dari pintu sedekah, mereka yang berpuasa akan dipanggila dari
pintu puasa, yaitu pintu Rayyan. Lantas Abu Bakar bertanya; “Jika
seseorang (yang masuk surga) dipanggil dari salah satu pintu, itu adalah
sebuah kepastian. Apakah mungkin ada orang akan dipanggil dari semua
pintu tersebut wahai Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Benar, dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka,
wahai Abu Bakar.” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Kedua, Abu Bakar adalah laki-laki yang paling dicintai oleh Rasulu shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu
bertanya kepada Nabi shallallahu’alahi wa sallam, “Siapa orang yang kau
cintai?. Rasulullah menjawab: ‘Aisyah’. Aku bertanya lagi: ‘Kalau
laki-laki?’. Beliau menjawab: ‘Ayahnya Aisyah’ (yaitu Abu Bakar)” (HR.
Muslim).
Ketiga, Allah mempersaksikan bahwa Abu Bakar adalah orang yang ikhlas dalam mengamalkan ajaran Islam. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ. وَمَا
لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَىٰ. إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ
رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ. وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,
Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang
harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari
keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat
kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)
Para ulama, di antaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata, sebab turun ayat ini adalah
berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq (Tafsir as-Sa’di, Hal: 886).
Keempat, orang-orang musyrik menyifati Abu Bakar sebagaimana Khadijah menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang diperintahkan Rasulullah
untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Meskipun Abu Bakar lebih senang
berada di sisi Rasulullah, namun Rasulullah mengkhawatirkan keselematan
Abu Bakar karena kabilahnya termasuk kabilah yang lemah, tidak mampu
melindunginya dari ancaman orang-orang kafir Quraisy.
Dalam perjalanan menuju Habasyah, saat sampai di suatu wilayah yang
bernama Barku al-Ghumad, Abu Bakar berjumpa dengan seseorang yang
dikenal dengan Ibnu Dughnah yang kemudian menanyakan perihal tentangnya.
Lalu Ibnu Dughnah mengajaka Abu Bakar kembali ke Mekah dan ia berkata
kepada kafir Quraisy, “Apakah kalian mengusir orang yang suka
menghilangkan beban orang-orang miskin, menyambung silaturahim,
menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu, dan selalu menolong di
jalan kebenaran?” (Riwayat Bukhari)
Sifat yang sama seperti sifat yang dikatakan Ummul Mukminin Khadijah
tatkala menenangkan Rasulullah tatkala pertama kali menerima wahyu.
Oleh karena itu, tidak heran sampai-sampai Umar bin al-Khattab
menyifati keimanan Abu Bakar dengan permisalan yang sangat luar biasa.
Umar mengatakan, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman
seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (as-Sunnah,
Jilid 1 hal. 378).
Meneladani Abu Bakar
Pertama, meneladani kecintaannya kepada Rasulullah.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menceritakan,
setiap harinya Rasulullah selalu datang ke rumah Abu Bakar di waktu
pagi atau di sore hari. namun pada hari dimana Rasulullah diizinkan
untuk berhijrah, beliau datang tidak pada waktu biasanya. Abu Bakar yang
melihat kedatangan Rasulullah berkata, “Tidaklah Rasulullah datang di
waktu (luar kebiasaan) seperti ini, pasti karena ada urusan yang sangat
penting”. Saat tiba di rumah Abu Bakar, Rasulullah bersabda, “Aku telah
diizinkan untuk berhijrah”. Kemudian Abu Bakar menanggapi,
“Apakah Anda
ingin agar aku menemanimu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Iya,
temani aku”. Abu Bakar pun menangis.
Kemudian Aisyah mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini, aku tidak
pernah sekalipun melihat seseorang menagis karena berbahagia. Aku
melihat Abu Bakar menangis pada hari itu”.
Abu Bakar kemudian berkata, “Wahai Nabi Allah, ini adalah kedua
kudaku yang telah aku persiapkan untuk hari ini”. Atsar ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari.
Subhanallah! Abu Bakar menangis bahagia karena bisa hijrah bersama
Rasulullah. Padahal hijrah dari Mekah ke Madinah kala itu benar-benar
membuat nyawa terancam, meninggalkan harta, meninggalkan keluarga; anak
dan istri yang ia cintai, tapi cinta Abu Bakar kepada Rasulullah
membuatnya lebih mengutamakan Rasulullah daripada harta, anak, istri,
bahkan dirinya sendiri.
Kedua, menangis saat membaca Alquran.
Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat lembut hatinya sehingga
tatkala membaca Alquran, matanya senantiasa berurai air mata. Tatkala
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit menjelang
wafatnya, beliau memerintahkan Abu Bakar agar mengimami kaum muslimin.
Lalu Aisyah mengomentari hal itu, “Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang
yang sangat lembut, apabila ia membaca Alquran, ia tak mampu menahan
tangisnya”. Aisyah khawatir kalau hal itu mengganggu para jamaah. Namun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan agar Abu Bakar mengimami kaum muslimin.
Karena bacaan Alqurannya pula, orang-orang kafir Quraisy mengeluh
kepada Ibnu Dhughnah orang yang menjamin Abu Bakar- agar ia meminta Abu
Bakar membaca Alquran di dalam rumahnya saja, tidak di halaman rumah,
apalagi di tempat-tempat umum. Mereka khawatir istri-istri dan anak-anak
mereka terpengaruh dengan lantunan ayat suci yang dibaca oleh Abu
Bakar.
Ketiga, berhati-hati terhadap harta yang haram atau syubhat.
Dikisahkan pula dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
“Abu Bakar ash-Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj (setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakar biasa makan dari kharraj
itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakar
makan darinya. Tiba-tiba sang budak berkata, ‘Apakah Anda tahu dari mana
makanan ini?’. Abu Bakar bertanya, ‘Dari mana?’ Ia menjawab, ‘Dulu pada
masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang.
Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si
pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Yang Anda makan saat
ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan tangannya
ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan.” (HR. Bukhari).
Kami tutup tulisan ini dengan sebuah hadits dari Anas bin Malik. Ada seseorang yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?
”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”Orang
tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari
tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi
yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami
tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika
mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a
man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”Anas
pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena
kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan
mereka.” (HR. Bukhari).