Teladan Imam Malik
Imam Malik adalah salah satu dari empat
Imam Mazhab. Dia lahir pada 93 H di Madinah. Penulis Kitab Al-Muwaththa’
itu suka mencari ilmu sejak belia dan rajin pula menyebarkannya.
Gigih dan Teguh
Imam Malik adalah nama yang lebih dikenal
ketimbang nama lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
Al-Ashbahy Al-Himyari. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama Hadits
terpandang di Madinah. Sementara, Madinah adalah kota dengan sumber ilmu
yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Imam Malik mulai menuntut ilmu di usia
sangat muda. Guru Imam Malik sangat banyak. Terutama di masa permulaan,
dari kakek dan ayahnya-lah Imam Malik mendapatkan pelajaran Hadits dan
ilmu-ilmu lainnya. Setelah itu, berguru-lah dia ke banyak ulama lainnya.
Mengutip sebuah sumber, An-Nawawi berkata, “Malik mengambil Hadits dari
sembilan ratus orang guru, yaitu tiga ratus orang dari generasi Tabi’in
dan enam ratus orang dari generasi Tabi’ Tabi’in”. Berikut ini sekadar
menyebut contoh sebagian guru-gurunya: Nafi’, Az-Zuhri, Abdullah bin
Dinar, dan Said Al-Maqburi.
Sekalipun di saat itu masih muda, tapi
karena berilmu tinggi maka orang-orang mulai mengambil Hadits atau
menuntut ilmu lainnya dari Imam Malik, terutama pada zaman Khalifah
Harun Al-Rasyid.
Tanpa putus-putus Imam Malik mengabdi di
bidang pendidikan selama 62 tahun. Adapun murid-muridnya antara lain
adalah Asy-Syafi’i, Ibnu Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Abu Mashar, dan
Yahya bin Yahya Al-Qurthubi.
Imam Malik sangat berhati-hati dalam
‘mengambil’ Hadits. Ibnu Hatim berkata, bahwa “Imam Malik menunjukkan
orang-orang yang tidak bisa dipercaya dalam meriwayatkan Hadits. Dia
(Imam Malik) tidak meriwayatkan Hadits kecuali Hadits shahih dan tidak
mau membicarakan Hadits kecuali Hadits itu diriwayatkan dari perawi yang
bisa dipercaya. Imam Malik mempunyai pengetahuan ilmu fikih, pandai
ilmu agama, mulia, dan taat beribadah”.
Tentang bukti sikap kehati-hatian Imam
Malik, lihatlah Kitab Al-Muwaththa’. Semula, Kitab ini memuat 10 ribu
Hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720
Hadits.
Syaikh Ahmad Farid menulis di bukunya –60
Biografi Ulama Salaf- bahwa Kitab yang paling shahih dalam meriwayatkan
Hadits di zamannya adalah Al-Muwaththa’. Dan, Kitab Al-Muwaththa’ telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
Lalu, Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi,
berkata: “Al-Muwaththa’ adalah dasar utama dan inti dari Kitab-Kitab
Hadits. Sedangkan karya Imam Bukhari adalah dasar kedua. Dan, dari
keduanya, muncul Kitab yang menjadi penyempurna, seperti karya Imam
Muslim dan At-Tirmidzi”.
Kitab Al-Muwaththa’ adalah Kitab fikih berdasarkan himpunan Hadits-Hadits pilihan. Kitab
ini menjadi salah satu rujukan terpenting di bidang fikih. Karya ini
memiliki banyak keistimewaan. Misalnya, Kitab ini disusun berdasarkan
klasifikasi fikih dengan memerinci kaidah fikih yang diambil dari Hadits
dan fatwa Sahabat.
Tak hanya berhati-hati saat ‘memilih’
Hadits, Imam Malik juga sangat menghormati Hadits. Ibnu Abi Uwais
berkata: “Jka Imam Malik ingin membicarakan sebuah Hadits, maka dia
berwudhu terlebih dahulu, merapikan jenggotnya, duduk dengan tenang dan
sopan, kemudian dia baru berbicara.”
Ketika seseorang bertanya tentang
kebiasaannya itu, Imam Malik menjawab: “Saya ingin memuliakan Hadits
Rasulullah SAW. Saya tidak mau menyampaikan sebuah Hadits kecuali saya
dalam keadaan suci dan tenang.”
Di antara kelebihan Imam Malik yang lain,
dia sangat menghormati majelis ilmu. Terkait ini, ada kisah menarik: Di
sebuah kunjungan ke Madinah, Harun Al-Rasyid -Khalifah Bani Abbasiyyah
saat itu- tertarik untuk mendapatkan kajian Kitab Al-Muwaththa’. Harun
Al-Rasyid ingin agar Imam Malik datang ke tempat dia tinggal untuk
menyampaikan kajian. Harun Al-Rasyid-pun mengutus seseorang untuk
memanggil Imam Malik.
Permintaan Harun Al-Rasyid itu tak
dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum
hanya untuk kepentingan seorang pribadi,” kata Imam Malik. Maka, tak ada
pilihan lain, Sang Khalifah-pun mengikuti kajian Kitab Al-Muwaththa’
bersama dua putranya dengan duduk berdampingan bersama jamaah lainnya di
tempat kajian itu biasa dilaksanakan.
Terkait ‘insiden’ tersebut, Imam Malik
memberikan nasihat kepada Harun Al-Rasyid: ”Rasyid, Hadits adalah
pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh leluhur Anda. Bila
sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, maka tak seorangpun yang
akan menaruh hormat kepada Anda. Manusia-lah yang harus mencari ilmu,
sementara ilmu tidak akan pernah mencari manusia.”
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin,
menjaga ketentraman, dan mendorong rasa hormat murid kepada gurunya.
Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan dia
menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah
suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah Hadits dengan nada agak
keras. Imam Malik tak berkenan dengan sikap itu dan berkata, ”Jangan
melengking bila sedang membahas Hadits Nabi.”
Imam Malik berilmu tinggi. Maka,
perkataan-perkataan yang keluar dari lisannya bernilai tinggi pula.
Berikut ini, sejumlah mutiara kata dari Imam Malik: “Jika ada orang
memuji dirinya sendiri, maka dia telah kehilangan kehormatannya”. “Bukan
seorang pemimpin, jika dia mengatakan semua yang dia dengar”. Dan,
“Jika seseorang tidak bisa berlaku baik terhadap dirinya sendiri, maka
dia tidak akan bisa berbuat baik terhadap orang lain”.
Imam Malik dikenal tegas memegang prinsip.
Lebih dari sekali ‘pendapat keagamaan’-nya berbeda dengan pendapat
penguasa. Atas sikapnya ini, Imam Malik tabah menerima risiko –seperti
dicambuk- atas perjuangannya menegakkan risalah Islam.