RAHASIA DIBALIK USIA 40
(Menyingkap Rahasia Nubuwwah Rasulullah SAW)
Rahasia umur Muhammad saat nubuwah, mulai tersingkap sedikit demi sedikit. Mengapa Nabi Muhammad SAW. mengemban misi kenabian saat beliau berusia 40 tahun? Dan bukannya usia 30 atau 35, puncak kehebatan [fisik] manusia? Mengapa harus 40 tahun? saat fisik sudah berada di jalur turun, ibarat naik roll coster, 0-39 th adalah ketika kereta merambat naik, lalu di usia 40 lah si kereta roll coster mencapai puncak rel dan kemudian meroket turun.
Jadi, apa rahasia usia 40 tahun Muhammad ketika di serahkan misi mulia ini? Apa makna yang terkandung dalam usia 40 ini?.
Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa :
“Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Q.S.
al-Ahqâf: 15)
Al-Qur’an memberikan apresiasi tersendiri terhadap
manusia kala mencapai usia 40 tahun yang disebutkan dalam surat di
atas. Pastilah bukan hal yang main-main, Allah menyebutkan secara jelas
usia manusia yang dimaksud. Sebenarnya apa maksud Allah menyuruh manusia
untuk berdo’a pada usia tersebut.
Menurut para mufassir, usia 40
tahun merupakan usia dimana manusia mencapai puncak kehidupannya baik
dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, maupun spiritualnya.
Orang yang berusia 40 tahun benar-benar telah meninggalkan usia mudanya
dan beralih menapaki usia dewasa penuh. Apa yang dialami pada usia ini
sifatnya stabil, mapan, kokoh. Perilaku di usia ini akan menjadi
barometer pada langkah usia selanjutnya.
Do’a yang terdapat
dalam ayat tersebut sangat dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang
menginjak usia 40 tahunan. Di dalamnya tampak terkandung uraian berbagai
gejala orang yang berusia 40 tahun, yakni nikmat yang sempurna telah
diterimanya dan diterima oleh orang tuanya, kecenderungan diri untuk
beramal yang positif, rumah tangga yang beranjak harmonis, kecenderungan
diri bertaubat dan kembali kepada Sang Pencipta, dan ketegasannya
mendeklarasikan diri sebagai pemeluk agama Islam.
Oleh beberapa
ahli tafsir, ayat tersebut dijelaskan sebagai ayat yang berisikan
nasihat kepada manusia untuk selalu bersyukur, mengingat dan mendoakan
kebaikan bagi kedua orang tuanya sekaligus juga memohon petunjuk untuk
dapat melakukan amal shaleh berupa kebaikan (agama) kepada keluarganya
ketika manusia tersebut telah mencapai usia 40 tahun.
Dalam
surat tersebut setidaknya juga terdapat empat indikator kemuliaan
manusia yang seharusnya menjadi identitas orang yang mencapai umur 40
tahun yaitu bersyukur, beramal shalih, bertaubat, dan berserah diri.
- Bersyukur kepada Allah atas karunia umur yang mengantarkannya mencapai angka 40.
- Bersyukur atas kenikmatan hidup yang telah dianugerahkan Allah baik
berupa kenikmatan material maupun nikmat anak keturunan (dzuriyat).
- Bersyukur sesuai hakikat bahwa semuanya karena kehendak yang mengikuti
nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah dan dicontohkan dalam
kehidupan Rasul dan para sahabat.
- Bertobat disertai kesadaran bahwa manusia mempunyai kalbu yang berbolak-balik antara tarikan kebaikan dan keburukan.
- Bertobat disertai perenungan dan perhitungan apakah di usia 40 tahun lebih berat kebaikannya atau keburukannya.
- Berserah diri, yang merupakan pernyataan keikhlasan sebagai seorang
muslim yang tunduk dan patuh terhadap ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya,
sehingga upaya-upaya yang dilakukan tersebut dapat menjadi amal shaleh
yang tidak tertolak dan dapat mendatangkan keridhoan-Nya.
Dengan
demikian umur 40 tahun dapat dipandang sebagai gerbang pencerahan jiwa,
menjadikannya cahaya menuju kehidupan yang lebih mulia.
Pada ayat yang lain, Allah swt. berfirman :
"Apakah
Kami tidak memanjangkan umurmu dalam tempo yang cukup untuk berpikir
bagi orang-orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu
pemberi peringatan?" (Q.S. Fathir: 37)
Menurut Ibnu Abbas, Hasan
al-Bashri, al-Kalbi, Wahab bin Munabbih, dan Masruq, yang dimaksud
dengan “umur panjang dalam tempo (tenggang waktu) yang cukup untuk
berpikir” dalam ayat tersebut tidak lain adalah kala berusia 40 tahun.
Mengapa Umur 40 Tahun Begitu Penting?
Dalam tradisi Islam, usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode yaitu :
1. periode kanak-kanak atau thufuliyah,
2. periode muda atau syabab,
3. periode dewasa atau kuhulah, dan
4. periode tua atau syaikhukhah.
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah menyebut periode kanak-kanak itu mulai lahir hingga
baligh, muda mulai dari usia baligh sampai 40 tahun, dewasa usia 40
tahun sampai 60 tahun, dan usia tua dari 60-70 tahun.
Usia 40
tahun dengan demikian adalah usia ketika manusia benar-benar
meninggalkan masa mudanya dan beralih menapaki masa dewasa penuh yang
disebut dengan usia dewasa madya (paruh baya) atau kuhulah. Hal ini
sesuai dengan pendapat pakar psikologi seperti Elizabet B. Hurlock,
penulis “Developmental Psychology”. Katanya, “masa dewasa awal” atau
“early adulthood” terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum
sampai kira-kira usia 40 tahun. Selanjutnya adalah masa setengah baya
atau “middle age”, yang umumnya dimulai pada usia 40 tahun dan berakhir
pada usia 60 tahun. Dan akhirnya, masa tua atau “old age” dimulai sejak
berakhirnya masa setengah baya sampai seseorang meninggal dunia.
Nuansa
kejiwaan yang paling menarik pada usia 40 tahun ini adalah meningkatnya
minat seseorang terhadap agama (religiusitas dan spiritualisme) setelah
pada masa-masa sebelumnya minat terhadap agama itu boleh jadi kecil
sebagaimana diungkapkan oleh banyak pakar psikologi sebagai “least
religious period of life”.
Oleh karena itu, dengan berbagai
keistimewaannya, maka patutlah jika usia 40 tahun disebut tersendiri di
dalam al-Qur’an. Dan karenanya, tidaklah heran jika para Nabi diutus
pada usia 40 tahun. Nabi Muhammad saw. diutus menjadi nabi tepat pada
usia 40 tahun. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, kecuali Nabi Isa
as. dan Nabi Yahya as., mereka diutus menjadi nabi ketika usia mereka
genap 40 tahun.
Di banyak negara ditetapkan, untuk menduduki
jabatan-jabatan elit yang strategis, seperti kepala negara, disyaratkan
bakal calon harus telah berusia 40 tahun. Masyarakat sendiri tampak
cenderung baru mengakui prestasi seseorang secara mantap tatkala orang
itu telah berusia 40 tahun. Soekarno menjadi presiden pada usia 44
tahun. Soeharto menjadi presiden pada umur 46 tahun. J.F. Kennedy 44
tahun. Bill Clinton 46 tahun. Paul Keating 47 tahun. Sementara Tony
Blair 44 tahun.
Apa Keistimewaan Usia 40 Tahun?
Dari
kacamata psikologi, usia 40 tahun sering disebut masa dewasa madya.
Orang-orang yang berada di usia ini lebih popular disebut setengah baya,
dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan fisik maupun
psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Bila masa
remaja merupakan masa peralihan, dalam arti bukan lagi masa kanak-kanak
namun belum bisa disebut dewasa, maka pada setengah baya, tidak dapat
lagi disebut muda, namun juga belum bisa dikatakan tua.
Secara
fisik, pada masa remaja terjadi perubahan yang demikian pesat (menuju ke
arah kesempurnaan/kemajuan) yang berpengaruh pada kondisi
psikologisnya, sedangkan individu setengah baya juga mengalami perubahan
kondisi fisik, namun dalam pengertian terjadi penurunan/kemun-duran,
yang juga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. Selain itu, perilaku
dan perasaan yang menyertai terjadinya perubahan-perubahan tersebut
adalah sama, yaitu salah tingkah/ canggung, bingung, dan kadang-kadang
over acting.
CIRI-CIRI DEWASA MADYA
1. Masa yang ditakuti (a dreaded period).
2. Masa transisi (a time of transition).
3. Masa penyesuaian kembali (a time of adjustment).
4. Masa keseimbangan dan ketidakseimbang-an (a time of equilibrium and disequilibrium.
5. Usia berbahaya (a dangerous age).
6. Usia kaku/canggung (a awkward age).
7. Masa berprestasi (a time of achievement).
Masa Yang Ditakuti
1. Selain masa tua (old age), masa dewasa madya juga merupakan masa yang
sangat ditakuti datangnya oleh kebanyakan individu, sehingga seolah-olah
mereka ingin mengerem laju pertambahan usia mereka.
2. Bagi
perempuan masa dewasa madya tidak saja berarti menurunnya kemampuan
reproduktif dan datangnya menopause, namun juga menurunnya daya tarik
seksual.
3. Umumnya mereka (individu dewasa madya) merasa tidak
lagi menarik secara seksual bagi suami mereka, sehingga muncul
kekhawatiran “akan kehilangan” suami dan kondisi ini selain dapat
mengakibatkan para istri begitu mengharapkan suaminya bersikap seperti
ketika masih pengantin baru, juga munculnya rasa cemburu yang kadang
cenderung berlebihan, bila melihat suaminya berkomunikasi dengan
perempuan yang lebih muda usianya.
4. Biasanya di usia2 ini,
suami mereka mulai lebih berkonsentrasi pada karier dan peningkatan
kariernya, sehingga mereka semakin merasa kesepian dan “diabaikan”.
5. Perasaan2 negatif ini bila tidak segera dicari pemecahannya dapat mengakibatkan para istri mengalami depresi.
6. Bagi pria, masa dewasa madya merupakan usia yang mengandung arti
menurunnya kemampuan fisik secara menyeluruh, termasuk berkurangnya
vitalitas seksual.
7. Sebagian kaum pria yang mengalami
tanda-tanda terjadinya penurunan kemampuan seksual ini, akan mengalihkan
perhatian mereka pada kesibukan bekerja demi meningkatkan prestasi dan
memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
8. Selain
masalah seksual, kaum pria yang telah memasuki usia dewasa madya, ada
juga yang ingin menutupi “kelemahan” fisiknya dengan melakukan aktivitas
fisik berlebihan, dan cenderung menolak bantuan dari mereka yang lebih
muda.
9. Pada sebagian yang lain, justru bersikap kompensatif,
dalam arti untuk menutupi “kekurangannya” mereka bersikap seperti anak
muda dengan lebih memperhatikan penampilan fisik, berdandan sedemikian
rupa untuk mencari perhatian dari lawan jenis yang berusia jauh lebih
muda.
11. Mereka yang berperilaku seperti ini justru menunjukkan
adanya ketidak percayaan yang cukup besar terhadap daya tarik seksual
mereka.
Masa Transisi
1. Seperti juga masa remaja,
individu pada masa dewasa madya juga disebut sebagai masa transisi dari
masa dewasa awal ke masa dewasa lanjut (lansia).
2. Sebagian
cirri-ciri fisik dan perilakunya masih memperlihatkan masa dewasa awal,
sementara banyak ciri fisik dan perilaku lainnya justru telah
menunjukkan ciri-ciri orang dewasa lanjut.
3. Kondisi transisi
ini menyebabkan mereka harus banyak melakukan penyesuaian terhadap
peran-peran baru yang diberikan oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat
juga mengharapkan mereka untuk dapat berpikir dan berperilaku sesuai
dengan usianya.
Masa Penyesuaian Kembali
1. Memasuki usia
dewasa madya, cepat atau lambat individu harus mengadakan penye-suaian
kembali terhadap perubahan2 yang dialaminya, baik fisik maupun peranan.
2. Penyesuaian terhadap perubahan peranan, biasanya akan terasa lebih
sulit dilakukan bila dibandingkan dengan penyesuaian terhadap berubahnya
kondisi fisik. Misalnya kaum pria yang mengalami masa pensiun, atau
kaum perempuan yang mengalami perubahan peran sebagai ibu dengan
anak-anak yang akan mulai memasuki kehidupan baru.
Masa Keseimbangan dan Ketidakseimbangan
1. Pengertian keseimbangan mengacu pada kemampuan penyesuaian terhadap
terjadinya perubahan2 fisik dan psikologis yang dilakukan orang2 dewasa
madya.
2. Keseimbangan ini dapat dicapai bila ada penyesuaian
secara menyeluruh terhadap pola-pola kehidupannya. Mereka yang mampu
mencapai keseimbangan akan merasakan kehidupan yang tenang, tenteram dan
damai di rumah, sehingga tidak suka “keluyuran”/ buang-buang waktu di
luar rumah untuk kegiatan yang tidak berguna.
3. Ketidakseimbangan artinya adalah terjadinya kegoncangan2/gangguan2
penyesuaian yang dialami individu pada masa ini, baik yang bersifat
internal maupun eksternal, termasuk dengan pasangan hidupnya.
4. Mereka yang tidak mampu mencapai keseimbangan ini akan merasa tidak
betah di rumah, dan cenderung ingin “lari” dari rumah untuk memenuhi
kebutuhan2 fisik dan psikologis yang tidak diperoleh di rumahnya
Usia Berbahaya
1. Yang dimaksud dengan usia berbahaya adalah dalam hal kehidupan seksual-nya, terutama dengan isterinya.
2. Juga dalam hal-hal yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan
lainnya, seperti kondisi fisik yang mulai rentan terhadap penyakit, juga
kondisi psikologis yang relative menjadi lebih peka, dalam arti mudah
tersinggung, tertekan, stress, hingga depresi.
3. Dalam hal-hal
yang berhubungan dengan masalah seksual, tidak jarang terjadi para suami
yang mulai merasa “bosan” dengan istrinya, sehingga mulai menyeleweng,
atau pun menceraikan istrinya untuk kawin lagi dengan perempuan lain
yang kadang-kadang seusia dengan anak gadisnya.
4. Adapun untuk
hal-hal yang lain, individu usia dewasa madya, relative lebih sering
mengalami gangguan fisik maupun mental, bahkan pada orang-orang tertentu
dapat mengakibatkan bunuh diri.
Usia Kaku/Canggung
1. Seperti juga masa remaja ketika individu tidak bisa lagi disebut
anak-anak, tetapi juga belum layak disebut dewasa, begitu juga individu
dewasa madya, sudah kurang pantas disebut dewasa dini, namun juga belum
bisa disebut tua. Dalam situasi seperti ini, kadang muncul rasa canggung
dan bingung pada individu.
2. Pada sebagian individu kondisi ini
mengakibatkan mereka ingin menutupi ketuaan dengan berbagai cara dan
sejauh mungkin berusaha untuk tidak tampak tua, misalnya dalam hal
pemilihan busana, berdandan/ pemakaian kosmetik dsb. Kadang-kadang
apabila individu agak berlebihan di dalam menampilkan busana dan
dandanan yang bertujuan untuk menutupi ketuaannya, maka hal ini justru
menyebabkan mereka tampak janggal, sehingga terlihat kaku/canggung.
Masa Berprestasi
1. Berprestasi pada usia dewasa madya menurut Werner merupakan suatu gambaran yang positif dari seorang individu.
2. Pada usia 40 tahun pada orang-orang normal telah memiliki pengalaman
yang cukup dalam pendidikan dan pergaulan, sehingga mereka telah
memiliki sikap yang pasti serta nilai-nilai tentang hubungan social yang
berkembang secara baik.
3. Kondisi keuangan dan kedudukan social
mereka biasanya telah mapan, serta mereka telah memiliki pandangan yang
jelas tentang masa depan dan tujuan yang ingin dicapai.
4. Apabila situasi ini diikuti dengan kondisi fisik yang prima, maka mereka
dapat menyatakan bahwa hidup dimulai di usia 40 tahun (life begin
40th).
5. Menurut Hurlock yang dapat dicapai individu di usia
dewasa madya, tidak hanya kesuk-sesan secara financial, melainkan juga
dalam hal kekuasaan dan prestise.
6. Biasanya usia pencapaian
terjadi antara 40-50 tahun. Selain itu masyarakat sendiri nampaknya baru
mengakui kemampuan atau prestasi seseorang secara mantap apabila yang
bersangkutan telah memasuki usia dewasa madya.
Bila ditinjau
dari sisi psikologi, memang usia 40 tahun memiliki banyak keistimewaan,
salah satunya sebagaimana tercermin dari sabda Rasulullah saw :
العَبْدُ
الْمُسْلِمُ إِذَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً خَفَّفَ اللهُ تَعَالَى
حِسَابَهُ ، وَإِذَا بَلَغَ سِتِّيْنَ سَنَةً رَزَقَهُ اللهُ تَعَالَى
الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ ، وَإِذَا بَلَغَ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَحَبَّهُ
أَهْلُ السَّمَاءِ ، وَإِذَا بَلَغَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً ثَبَّتَ اللهُ
تَعَالَى حَسَنَاتِهِ وَمَحَا سَيِّئَاتِهِ ، وَإِذَا بَلَغَ تِسْعِيْنَ
سَنَةً غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
وَشَفَّعَهُ اللهُ تَعَالَى فِى أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَكَتَبَ فِى السَّمَاءِ
أَسِيْرَ اللهِ فِى أَرْضِهِ – رواه الإمام أحمد
"Seorang hamba
muslim bila usianya mencapai empat puluh tahun, Allah akan meringankan
hisabnya (perhitungan amalnya). Jika usianya mencapai enam puluh tahun,
Allah akan memberikan anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat)
kepada-Nya. Bila usianya mencapai tujuh puluh tahun, para penduduk
langit (malaikat) akan mencintainya. Jika usianya mencapai delapan puluh
tahun, Allah akan menetapkan amal kebaikannya dan menghapus amal
keburukannya. Dan bila usianya mencapai sembilan puluh tahun, Allah akan
mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang
belakangan, Allah juga akan memberikan pertolongan kepada anggota
keluarganya, serta Allah akan mencatatnya sebagai “tawanan Allah” di
bumi." (H.R. Ahmad).
Hadits ini menyebut usia 40 tahun paling
awal, dimana isinya bermakna bahwa orang yang mencapai usia 40 tahun dan
ia tetap memiliki komitmen terhadap penghambaan kepada Allah swt.
sekaligus memiliki konsistensi terhadap Islam sebagai pilihan
keberagamaannya, maka Allah swt. akan meringankan hisabnya. Perhitungan
amalnya akan dimudahkan oleh Allah swt. Ini merupakan suatu keistimewaan
tersendiri, karena dihisab, diteliti secara detail, diinterogasi secara
berbelit-belit, merupakan suatu tahapan di akhirat yang sangat sulit,
pahit, lama, dan mencekam tak ubahnya disiksa, betapa pun siksa yang
sebenarnya belum dilaksanakan.
Orang yang usianya mencapai 40
tahun mendapatkan keistimewaan berupa hisabnya diringankan. Boleh jadi
ini karena untuk mencapai usia 40 tahun dengan tingkat penghambaan dan
keberagamaan yang konsisten tentulah membutuhkan proses perjuangan yang
melelahkan.
Tetapi, umur 40 tahun merupakan saat harus waspada
juga. Ibarat waktu, orang yang berumur 40 tahun mungkin sudah masuk
ashar. Senja. Sebentar lagi maghrib. Sahabat Qotadah, tokoh generasi
tabiin, berkata, “Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun, maka
hendaklah dia mengambil kehati-hatian dari Allah ‘azza wa jalla.”
Bahkan, sahabat Abdullah bin Abbas ra. dalam suatu riwayat berkata :
"Barangsiapa
mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan
amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.”
Nasihat
yang diungkap oleh dua sahabat besar tersebut memberikan pengertian
bahwa manusia harus mulai bersikap waspada, hati-hati, dan mawas diri
dalam aktivitas pengabdiannya kepada Allah swt. manakala usianya telah
mencapai 40 tahun. Ia ditekankan untuk meningkatkan atau
setidak-tidaknya mempertahankan amal kebajikan yang telah dibiasakannya
pada usia-usia sebelumnya. Tidak justru “tua-tua keladi”, makin tua
dosanya makin menjadi-jadi. Secara keras, Ibnu Abbas ra. mengingatkan
manusia yang berumur 40 tahun dan amal kebajikannya masih kalah
dibanding dengan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke
neraka.
Atas dasar ini, penduduk Madinah dahulu yang didominasi
oleh para sahabat Nabi Saw. ketika usia mereka telah mencapi 40 tahun,
mereka konsentrasi beribadah. Mereka mulai memprioritaskan hari-harinya
untuk aktivitas ibadah. Kesibukan mencari materi mereka kurangi dan
beralih memfokuskan diri pada kegiatan yang bersifat non-materi, dalam
rangka memobilisasi bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan setelah
mati. Hal yang sama dilakukan oleh penduduk Andalusia, Spanyol.
Imam
asy-Syafi’i tatkala mencapai usia 40 tahun, beliau berjalan seraya
memakai tongkat. Jika ditanya, jawab beliau, “Agar aku ingat bahwa aku
adalah musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti
seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di
udara, kecuali telapak kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar.
Komitmenku sekarang seperti itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa
syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan
sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia. Aku juga
tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk pikuk
dunia, kecuali hal yang menurut syara’ lazim bagiku. Di antara aku dan
dia ada Allah.”
Syeikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab
“al-Bahr al-Maurûd” menyatakan, “Kita memiliki keterikatan janji
manakala umur kita telah mencapai 40 tahun, bahwa kita harus melipat
alas tidur kecuali bila terkuasai (yakni, kantuk berat datang dan tak
bisa dihindari), kita tidak boleh alpa dari keberadaan kita sebagai para
musafir ke negeri akhirat di setiap detak nafas, sehingga kita tidak
merasa memiliki kenyamanan sedikit pun di dunia. Kita harus melihat
sedetik nafas dari umur kita setelah usia 40 tahun sebanding dengan 100
tahun dari umur sebelumnya. Begitulah. Pasca usia 40 tahun, tidak ada
rehat bagi kita, tidak lagi berebutan atas suatu jabatan (kursi), tidak
juga merasa senang dengan sedikit pun dari dunia. Semua itu karena
sempitnya usia pasca 40 tahun. Tidaklah pantas orang yang berada di
ujung kematian berlaku lalai, lupa, santai, dan bermain-main.”
Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika menginjak usia 40 tahun?
Beberapa yang disebutkan Ahmad Syarifuddin dalam bukunya ini adalah :
1. Meneguhkan tujuan hidup
2. Meningkatkan daya spiritualisme
3. Menjadikan uban sebagai peringatan
4. Memperbanyak bersyukur
5. Menjaga makan dan tidur
6. Menjaga konsistensi dan kontinuitas
Jika
ada yang mengatakan bahwa: Life began at forty, saya cenderung
berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan religius,
kehidupan yang berfokus dan konsentrasi untuk persiapan menuju negeri
akhirat. Karena bagaimanapun, statemen Helen Rowland itu belum selesai.
Lanjutnya, … but so do fallen arches, rheumatism, faulty eyesight, and
the tendency to tell a story to the same person, three or four times.
Kehidupan memang dimulai umur 40 tahun, tetapi pada saat itu kita juga
mulai cekot-cekot, reumatik, rabun, dan kecenderungan pikun.
Karena itu, agaknya syair Ali bin Abi Thalib ra. ini bisa dijadikan renungan :
إِذَا
عَاشَ الْفَتَى سِتِّيْنَ عَامًا # فَنِصْفُ الْعُمْرِ تَمْحَقُهُ
اللَّيَالِي وَرُبْعُ الْعُمْرِ يَمْضِى لَيْسَ يُدْرَى # أَيُقْضَى فِى
يَمِيْنٍ أَوْ شِمَالِ وَرُبْعُ الْعُمْرِ أَمْرَاضٌ وَشَيْبٌ # وَشُغْلٌ
بِالتَّفَكُّرِ وَالْعِيَالِ
"Jika seorang pemuda dikaruniai usia
60 tahun, maka separuh usianya habis oleh tidur di malam hari.
Sementara seperempat usianya berlalu tanpa diketahui, apakah dijalankan
ke kanan atau ke kiri. Seperempat usianya yang lain dimangsa oleh sakit,
uban, dan kesibukan mengurus keluarga."
Jika umur kita pada
kenyataannya lebih banyak yang kita habiskan untuk sesuatu yang tidak
berguna, maka kiranya kini saatnya untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu
yang tersisa. Sebagaimana sahabat Abdullah bin Umar r.a. pernah
menceritakan hadits dari Rasulullah Saw. yang perlu dicamkan berkaitan
dengan hal ini.
Rasulullah Saw. memegang kedua pundakku dan bersabda, :
“Jadilah
di dunia seakan-akan kamu orang asing (perantau) atau pengembara
(musafir).” Abdullah bin Umar ra. berkata, “Jika berada di waktu sore,
jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi, jangan menanti
waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan amal-amal
shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk
bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari)