Keutamaan Surat Al Mulk, Takut pada Allah Di Kala Sepi
Berikut kita akan melanjutkan beberapa
faedah lagi dari surat Al Mulk. Semoga kita bisa lebih memahami tersebut
dan mengamalkan kandungan di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ
كَبِيرٌ (12) وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ
بِذَاتِ الصُّدُورِ (13) أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ
الْخَبِيرُ (14) هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا
فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)
“Sesungguhnya orang-orang yang takut
kepada Tuhannya di saat mereka tidak tampak di hadapan yang lainnya,
mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. Dan rahasiakanlah
perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala
isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu
lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 12-15)
Keutamaan Taat dan Takut pada Allah Di Kesunyian
Setelah sebelumnya Allah menyebutkan keadaan orang-orang fajir
(kafir), selanjutnya Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang berbuat
baik dan akan menuai kebahagiaan.
Dalam surat Al Mulk ayat 12, penulis Tafsir Al Jalalain
menjelaskan, “Mereka itu takut pada Allah di kesunyian ketika mereka
tidak nampak di hadapan manusia lainnya. Mereka pun taat pada Allah
dalam keadaan sembunyi-sembunyi. Tentu saja dalam keadaan
terang-terangan, mereka pun lebih taat lagi pada Allah.[1]”
Intinya mereka itu taat pada Allah meskipun di kesunyian. Syaikh As
Sa’di menjelaskan, “Mereka takut pada Allah dalam setiap keadaan
sampai-sampai pada keadaan yang tidak ada yang mengetahui amalan mereka
kecuali Allah. Mereka tidak melakukan maksiat dalam kesunyian. Mereka
pun tidak mengurangi ketaatan mereka ketika itu.”[2]
Namun kita mungkin sangat jauh dari sifat baik semacam ini. Di kala
sepi kita berani berbuat maksiat, padahal Allah menyaksikan kita dan di
kala terang-terangan kita pun berani mendurhakai Allah dengan riya’
tatkala melakukan amalan. Semoga Allah menunjuki kita pada sifat yang
mulia ini.
Ingatlah keutamaan yang mulia yang diperoleh oleh orang yang beramal dan takut pada Allah di kala sepi, yaitu:
- Akan mendapatkan ampunan dari setiap dosa, begitu pula akan dilindungi dari kejelekan dan siksa neraka.
- Mereka akan mendapatkan ganjaran besar yaitu berbagai kenikmatan yang Allah janjikan di surga.
Keutamaan Ihsan dalam Ibadah
Untuk ayat,
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
terdapat penafsiran lainnya dari para ulama. Intinya, ada empat penafsiran mengenai ayat ini:
- “Mereka takut pada Allah, namun mereka tidak melihat-Nya”. Inilah pendapat mayoritas ulama.
- “Mereka sangat takut akan siksa Allah walaupun mereka tidak melihat-Nya”. Inilah pendapat Maqotil.
- “Mereka takut pada Allah ketika tidak ada satu pun yang menyaksikan mereka”. Inilah pendapat Az Zujaj.
- “Mereka takut pada Allah jika mereka bersendirian (tidak
tampak di hadapan manusia) sebagaimana mereka takut jika mereka
berada di hadapan manusia”. Inilah pendapat Abu Sulaiman Ad Dimasyqi.[3]
Tafsiran ketiga telah dijelaskan pada point sebelumnya. Tafsiran ketiga ini hampir sama dengan tafsiran keempat.
Sedangkan tafsiran pertama dan kedua hampir sama. Untuk tafsiran
pertama inilah yang kita sering lihat pada terjemahan Al Qur’an
(termasuk terjemahan DEPAG RI) sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas)
ulama. Sehingga biasanya ayat tersebut diartikan:
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka.” (QS. Al Mulk: 12)
Berdasarkan tafsiran menunjukkan keutamaan dari orang yang berbuat
ihsan. Mereka akan mendapatkan dua keutamaan yang disebutkan dalam
lanjutan ayat,
لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Mulk: 12)
Lalu apa yang dimaksud ihsan? Pengertian ihsan dalam ibadah sebagaimana ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits jibril. Ketika ditanya oleh Jibril –yang berpenampilan Arab Badui- mengenai ihsan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan
melihatmu”.[4][5]
Dalam pengertian ihsan ini terdapat dua tingkatan. Tingkatan pertama disebut tingkatan musyahadah yaitu seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah bukan melihat zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya.
Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat
terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan
Allah pada sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam
derajat Ihsan.
Tingkatan kedua disebut dengan tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin Allah melihatnya.
Dan tingkatan inilah yang banyak dilakukan oleh banyak orang. Apabila
seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang
dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya.[6]
Keutamaan Beriman pada yang Ghoib
Berdasarkan salah satu penafsiran surat Al Mulk ayat 12, ayat ini
menunjukkan keutamaan beriman pada yang ghoib dan keutamaan meyakini
adanya kedekatan Allah ketika sendirian atau pun terang-terangan.[7]
Khouf (Takut) yang Membuat Seseorang Menjauh dari Maksiat
Dari ayat ini juga menunjukkan bahwa dengan rasa khouf (takut)
membuat seseorang menjauh dari maksiat. Sehingga ketika seseorang mau
terjerumus dalam maksiat hendaklah ia memperkuat rasa takut pada Allah.
Jangan malah ketika mau terjerumus dalam maksiat ia kedepankan roja’
(harap) pada Allah. Ketika berbuat maksiat malah ia ingat-ingat bahwa
Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Ini sikap yang keliru,
malah ia akan terus menerus dalam dosa. Yang benar, ketika seseorang
dalam keadaan mau terjerumus dalam maksiat, hendaklah ia kedepankan rasa
khouf (takut) pada Allah. Namun ketika ia dalam kondisi sudah
terjerumus dalam berbagai maksiat, maka hendaklah ia kedepankan rasa
roja’ (harap) ketika itu.
Tujuannya apa? Tujuannya, jika seseorang mengedapankan rasa takut
pada Allah ketika hendak berbuat maksiat, maka ia pasti akan
mengurungkan berbuat maksiat. Sedangkan mengedepankan rasa harap ketika
bergelimang dosa akan membuatnya tidak berputus asa dari rahmat Allah.
Perhatikanlah perbedaan dua hal ini.
Rasa Takut pada Allah Membuat Seseorang Mendapat Naungan-Nya
Keutamaan orang yang takut pada Allah di kesunyian juga disebutkan dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih (disepakati Bukhari dan Muslim),
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى ظِلِّهِ ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ
إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ اللَّهِ ،
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِى خَلاَءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ، وَرَجُلٌ
قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسْجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ ،
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا
قَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ . وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ
فَأَخْفَاهَا ، حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
“Tujuh golongan yang di mana mereka akan mendapatkan naungan
Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya, yaitu:
[1] pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah
pada Allah, [3] seseorang yang mengingat Allah di kesunyian lalu meneteslah air matanya, [4] seseorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, [5] seseorang yang saling mencintai karena Allah, [6] seseorang
yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan
untuk menyetubuhinya namun ia katakan, “Aku takut pada Allah, [7]
seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.”[8]
Lihatlah orang yang mengingat Allah di kesunyian (tanpa ada yang
melihatnya kecuali Allah) lalu ia meneteskan air mata dan orang yang
diajak berzina namun ia takut pada Allah. Inilah keutamaan dari orang
yang beribadah dan takut pada Allah sedangkan manusia-manusia tidak
mengetahuinya, mereka akan mendapatkan naungan ‘Arsy[9] Allah.[10]
Luasnya Ilmu Allah
Segala sesuatu itu sama di sisi Allah baik yang dilirihkan maupun
yang dikeraskan. Tidak ada yang samar sedikit pun baginya. Allahh Ta’ala
berfirman,
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al Mulk: 13)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada
dalam hati berupa berbagai niat dan keinginan. Bagaimanakah lagi dengan
perkataan dan perbuatan yang Allah dengar dan lihat?!
Inilah dalil logika yang menunjukkan keluasan ilmu Allah.[11] Kemudian Allah membuktikan hal ini dengan mengatakan,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14)
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu
lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk: 14). Maksud ayat ini adalah: “Apakah mereka tidak mengetahui Allah yang Maha Lathif dan Khobir?”[12]
Allah Itu Lathif dan Khobir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَنَّهُ لَطِيفٌ يُدْرِكُ الدَّقِيقَ خَبِيرٌ يُدْرِكُ الْخَفِيَّ وَهَذَا هُوَ الْمُقْتَضِي لِلْعِلْمِ بِالْأَشْيَاءِ
“Allah itu Lathif, maksudnya mengetahui segala sesuatu secara detail. Dan Khobir, maksudnya mengetahui segala yang tersembunyi (samar). Hal ini menunjukkan luasnya ilmu Allah terhadap segala sesuatu.”[13]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan makna Al Lathif itu ada 2:
- Allah mengetahui segala sesuatu secara detail.
- Allah selalu berbuat baik, penyayang terhadap hamba-hambaNya.[14]
Allah Menundukkan Bumi dan Beri Kemudahan untuk Dijelajahi
Allah Ta’ala selanjutnya berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.” (QS. Al Mulk: 15).
“Manakibiha” dalam ayat di atas ada tiga tafsiran, yaitu:
- Jalan, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di segala jalan.” Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Mujahid.
- Gunung, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di setiap gunung.”
Jika gunung saja mampu ditempuh, maka lebih-lebih daerah yang
rendah di bawahnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas lainnya,
pendapat Qotadah dan Az Zujaj.
- Penjuru, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di setiap penjuru bumi.” Ini adalah pendapat Maqotil, Al Farro’, Abu ‘Ubaidah, dan Ibnu Qutaibah.[15] Makna inilah yang dipakai oleh terjemahan DEPAG RI.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan ayat di atas,
“Sesungguhnya Allah yang menundukkan bumi bagi kalian agar kalian bisa
memenuhi berbagai kebutuhan (hajat) kalian.”[16]
Ini menunjukkan nikmat Allah dengan memberikan segala kemudahan bagi
setiap manusia. Maka Allah-lah yang pantas dipuji dan disanjung.
Tawakkal Bukan Berarti Meninggalkan Kerja dan Usaha
Dalam surat Al Mulk ayat 15 di atas juga menunjukkan disyariatkannya
berjalan di muka bumi untuk mencari rizki dengan berdagang, bertani,
dsb.[17]
Ini menunjukkan bahwa tawakkal bukan berarti meninggalkan kerja dan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha
(meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang
Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada
Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam).
Hanya Kepada Allah-lah Tempat Kembali
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15)
Ibnul Jauzi menafsirkan, “Kalian akan dibangkitkan dari kubur-kubur kalian.”[18] Hal ini menunjukkan adanya hari berbangkit dan hari pembalasan[19].
Demikian beberapa faedah tafsir surat Al Mulk untuk saat ini. Semoga
kita selalu dimudahkan oleh Allah untuk mentadabburi (merenungkan)
kitab-Nya yang mulia.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.